PERANG TV KABEL
Indah
belum satu bulan ber- langganan televisi kabel. Karyawati dengan tiga anak ini
belum me- nguasai betul fitur-fitur yang ada di layanan yang ia bayar karena
niat utamanya sebenarnya berlangganan Internet cepat. Saat membicarakan sebuah
acara televisi yang sudah diputar beberapa hari sebelum- nya, seorang kerabat
mengambil remote con- trol dan acara yang dimaksud tiba-tiba saja muncul
di layar kaca. “Lo, ternyata bisa menonton acara yang sudah lewat?” ujar Indah
Televisi berbayar yang menggunakan ja-
ringan kabel—bukan satelit dengan antena parabola—memang lebih interaktif.
Penonton lebih berperan, termasuk memutar kembali acara-acara yang sudah lewat
dengan hanya sekali klik. Televisi yang dilanggani Reni itu adalah Indi- Home milik
Telkom dan ini bukan satu-satunya yang bertempur di pasar televisi kabel. Grup
MNC, yang memiliki televisi berbayar satelit paling awal, mengoperasikan Play
Media. Yang terbaru, Grup Sinar Mas bekerja sama Seorang
eksekutif Play Media dengan perusahaan Singapura membuat cap My
Republic TV.
Pertumbuhannya cukup bagus. Koordinator
Kreatif dan Pemasaran IndiHome Bambang Elf mengatakan pertumbuhan jumlah
pelanggan TV kabel setiap tahunnya di Indonesia cukup kencang. “Mencapai 100
ribu pelanggan,” katanya. My Republic, yang belum setahun beroperasi, sudah
meraih belasan ribu pelanggan. “Ini dalam rentang waktu 4 bulan saja,” kata
General Manager Marketing and Communication My Republic Winnie Soelarso.
Kelebihan utama televisi kabel,
dibanding TV satelit, memang fitur interaktifnya itu. Se- lain itu, jumlah
saluran televisi kabel bisa se- banyak-banyaknya. Jumlah saluran di televisi
satelit dibatasi lebar frekuensi. Jika kualitas hendak ditingkatkan menjadi high
definition (HD), yang jauh lebih tajam, jumlah saluran mesti dikurangi.
“Kalau TV kabel terserah kita,” ucap Winnie. Tapi, dari sisi bisnis, jangkauan
televisi kabel tidak seluas layanan menggunakan satelit. Televisi satelit bisa
menjangkau di wilayah mana pun selama masih di bawah langit. Tapi televisi
kabel berbeda, butuh infrastruktur, butuh kabel yang diulur. “Akhirnya
terkotak. Kami hanya bermain di kota besar dan second city atau
kecamatan,” kata Winnie.
Karena pasar televisi berbayar via
satelit mencakup seluruh wilayah Indonesia, pasar nya sangat luar biasa besar.
Saat ini ada sekitar 70 juta rumah tangga Indonesia. Jika separuhnya saja
menjadi pelanggan televisi satelit, jumlah itu merupakan pasar yang besar.
“Jadi sekitar 30 juta keluarga jadi kue mereka,” tutur Winnie. Jika hanya
bersaing dalam urusan acara atau saluran televisi, televisi kabel kesulitan
bersaing melawan televisi satelit. Maka sejumlah jurus dimainkan. Pertama,
keunggulan
teknologi,
di antaranya bisa menonton film yang sudah diputar.
Maka mereka menjual paket televisi berbayar
ini dengan layanan Internet supercepat menggunakan jaringan serat optik. “Ini
menjadi kekuatan kita,” ucapnya. Hal yang sama diungkapkan Ade Tjendra,
Commercial Director PT MNC Kabel Mediacom, yang mengoperasikan Play Media.
“Saat kami memasang kabel, tidak hanya kasih servis TV, tapi juga Internet,”
tuturnya. Itu sebabnya, peluang berkembang Internet kabel di Indonesia besar
karena masih sangat sedikit rumah yang berlangganan. “Di Indo- nesia, fixed
broadband saja baru 5 persen,” katanya. “Jadi potensinya masih besar,
bisnis- nya masih besar untuk berkembang.” Dari sisi biaya investasi,
persaingan dengan televisi satelit sebenarnya malah tidak berbe- da banyak.
Menurut Winnie, mereka memang mesti mengeluarkan dana untuk mengulur kabel.
Tapi televisi satelit bukan tanpa infratruktur
yang mahal. Mereka butuh biaya besar untuk sewa satelit. “Itu belanja yang
besar di awal,” ucapnya. Ia mengungkapkan, biaya menyewa satelit selama 15
tahun sebesar US$ 200-300 juta (Rp 3-4,5 triliun). Sedangkan untuk televisi
kabel, rata-rata satu sambungan kabel mem- butuhkan biaya US$ 100-400 (Rp 1,5-6
juta), tergantung kepadatan penduduknya. Untuk menutupi biaya itu, operator
televisi kabel mendapatkan pemasukan dari iuran pelanggan televisi, pelayanan
Internet, serta iklan.
Untuk menekan biaya infrastruktur,
mereka mencari wilayah dengan kepadatan tinggi, seperti Jakarta atau
perumahan-perumahan di pinggiran. Itu sebabnya, persaingan mereka pun terjadi
di kota-kota besar. Semua ber- main di Jabodetabek serta kota besar, seperti
Surabaya atau Medan. Namun Play Media terus terang menga- takan belum mau
investasi sampai Papua. “Kultur dan kebutuhan Internet di sana belum begitu
besar,” ucap Ade.
No comments:
Post a Comment