Tuesday, January 5, 2016

Meningkatkan alutsista di 2 MATRA -TNI AL dan TNI AU

      MUSIBAH jatuhnya pesawat Hercules KC-130B TNI Angkatan Udara di kawasan Padang Bulan, Medan, pada Selasa, 30 Juni 2015, kembali membuka mata banyak kalangan peri- hal pentingnya memperbarui alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Meski dinyatakan laik terbang, usia Hercules yang jatuh di kawas- an pemukiman dan menewaskan lebih dari 120 orang itu dinilai sudah uzur. Pesawat angkut militer bernomor registrasi A-1310 tersebut diproduksi pada 1958. Pada 1960, pesawat yang aslinya merupakan pesawat angkut itu dimodifikasi menjadi varian tan- ker udara atau KC-130B sebelum dioperasikan mulai 18 April 1961. Tentara Indonesia mulai memakai pesawat itu pada 1964, masih pada era Presiden Sukarno. Hercules yang jatuh itu hanya satu dari peralatan militer TNI yang tergolong tua.

      Tengok data mengejutkan yang dirilis Center for Strategic and International Studies (CSIS). Operasi 52 persen alutsista TNI ternyata lebih dari 30 tahun. Per Desember 2014, TNI meng- operasikan 160 jenis alutsista, terdiri atas 64 persenjataan matra darat, 56 matra laut, dan akan difokuskan untuk membangun alutsista Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Berbagai permasalahan negara terkait per- batasan laut dan udara mendorong hal itu jadi prioritas. Hasanuddin memberi contoh masa- lah perairan Ambalat, Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Malaysia. “(Salah satu) proyeksinya untuk meningkatkan alutsista dan kinerja pasukan TNI AL dalam menjaga (laut) Ambalat,” tutur purnawirawan jenderal bintang dua itu. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal TNI Jundan Eko Bintoro

       Bersyukur apabila rencana pe- ningkatan anggaran pertahanan hingga Rp 200 triliun itu didukung DPR. “Ya, alhamdulillah. Artinya, kita melakukan percepatan menu- ju MEF,” ucap Jundan. Sejak 2010, anggaran pertahanan, termasuk untuk TNI, terus ditingkatkan. Seperti tahun lalu, anggarannya baru mencapai 0,89 persen dari produk domestik bruto (GDP) Indonesia. Tahun ini, dengan anggaran pertahanan total Rp 94,9 triliun, berarti meningkat, menjadi 0,9-1 persen dari GDP. Dengan peningkatan mencapai Rp 200 triliun, menurut Jundan, TNI lebih cepat mencapai ke- kuatan dasar minimal atau minimum essential forces (MEF).

      Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, ujar Jundan, juga selalu menekankan rencana men- capai kekuatan minimal itu dengan penambahan atau memodernisasi alutsista. Targetnya, MEF bisa dicapai pada 2024. Namun, melihat kebutuhan saat ini, penguatan alutsista men- desak dilakukan. Kebutuhan terutama untuk menghadapi ancaman nyata, seperti bencana alam, bukan lagi dalam bentuk ancaman perang konvensional. “Untuk (menangani bencana) itu, perlu mo- dernisasi TNI AU dengan menambah pesawat angkut, seperti C-17 atau helikopter sekelas Chinook,” kata Jundan. C-17 Globemaster III adalah jenis pesawat angkut militer buatan Boeing. Pesawat yang mampu mengangkut tank berat maupun helikopter itu dipakai oleh Angkatan Udara Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.

       Adapun untuk TNI AL, menurut Jundan, akan diproyeksikan penguatan alutsista yang mendukung Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, yang dicanangkan Presiden Joko Wi- dodo. “Semisal helikopter antikapal selam dan menambah jumlah kapal (perang),” ujarnya. Begitupun Angkatan Darat, perlu ditambah dan dimodernisasi alutsistanya. Masalahnya, dari anggaran pertahanan RI saat ini, sekitar 35 persen masih dialokasikan untuk belanja pegawai. Pos ini termasuk penge- luaran gaji pegawai negeri sipil dan prajurit di Kementerian Pertahanan dan TNI. Sedangkan belanja modalnya hanya sekitar 32 persen dan belanja barang 26,17 persen. “Padahal belanja modal-lah yang harus dibesarkan karena di sini untuk kepentingan pembelian alutsista,” tutur Jundan. Meski anggaran pertahanan belum meningkat signifikan,

      TNI AU tetap mengajukan permohonan pengadaan pesawat angkut militer modern kepada Kementerian Pertahan- an. Menurut Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna, berdasarkan kajian pihaknya, dibutuhkan setidaknya empat pesawat sejenis Antonov An-70 buatan Rusia atau A-400M produksi Airbus di Prancis. A-400 M adalah pesawat angkut militer dengan empat turboprop. Satu batalion tempur bisa diangkut hanya dengan 3 atau 4 pesawat jenis ini. “Kalau pakai Hercules butuh minimal 9-10 pesawat,” Sementara itu, untuk pesawat tempur, TNI AU memerlukan Sukhoi Su-35 dan F-16 Viper untuk menggantikan skuadron F-5 TNI AU. Pengajuan itu masuk dalam Rencana Strategis TNI 2015-2019. Pengajuan juga termasuk peng adaan radar udara yang belum seluruhnya meng-cover seluruh wilayah Indonesia. Namun hal itu baru sebatas pengajuan. Mengenai kapan dan berapa yang bisa dipe- nuhi, Agus menyerahkan kepada Kementerian Pertahanan. Kendati begitu, pasca-musibah Hercules, ada komitmen DPR dengan TNI untuk membeli alutsista TNI yang baru, tidak lagi bekas.

       Apalagi ada perintah Presiden Jo- kowi untuk merombak manajemen dan sistem pengadaan alutsista TNI. “Selain (akan beli) baru, juga lengkap (terma- suk persenjataan),” kata Agus. Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Uni- versitas Padjadjaran, Bandung, Muradi menga- takan rencana anggaran pertahanan Rp 200 triliun itu baru 1,5 persen dari GDP. Angka itu baru bisa dicapai pada 2017. Di banyak negara, anggaran pertahanan normalnya 2,0 persen dari GDP. “(Anggaran pertahanan) kita paling rendah, setara dengan Laos dan Kamboja. Malah Vietnam di atas 4 persen dari GDP,” ujar Muradi. Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie juga menilai anggaran yang akan dicapai se- besar Rp 200 triliun itu hanya bisa menambah sedikit untuk pengadaan alutsista serta peneli- tian dan pengembangan teknologinya. “Dengan (angka Rp 200 triliun) itu baru 2 persen dari GDP. Idealnya 5 persen GDP, sesuai dengan perkembangan konstelasi kawasan,” demikian kata Direktur Indonesia Maritime

Studies tersebut. 

No comments:

Post a Comment