Meningkatkan alutsista di 2 MATRA -TNI AL dan TNI
AU
MUSIBAH jatuhnya pesawat Hercules KC-130B TNI Angkatan
Udara di kawasan Padang Bulan, Medan, pada Selasa, 30 Juni 2015, kembali
membuka mata banyak kalangan peri- hal pentingnya memperbarui alat utama sistem
persenjataan (alutsista) TNI. Meski dinyatakan laik terbang, usia Hercules yang
jatuh di kawas- an pemukiman dan menewaskan lebih dari 120 orang itu dinilai
sudah uzur. Pesawat angkut militer bernomor registrasi A-1310 tersebut
diproduksi pada 1958. Pada 1960, pesawat yang aslinya merupakan pesawat angkut
itu dimodifikasi menjadi varian tan- ker udara atau KC-130B sebelum
dioperasikan mulai 18 April 1961. Tentara Indonesia mulai memakai pesawat itu
pada 1964, masih pada era Presiden Sukarno. Hercules yang jatuh itu hanya satu
dari peralatan militer TNI yang tergolong tua.
Tengok
data mengejutkan yang dirilis Center for Strategic and International Studies
(CSIS). Operasi 52 persen alutsista TNI ternyata lebih dari 30 tahun. Per
Desember 2014, TNI meng- operasikan 160 jenis alutsista, terdiri atas 64
persenjataan matra darat, 56 matra laut, dan akan difokuskan untuk membangun
alutsista Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Berbagai permasalahan negara
terkait per- batasan laut dan udara mendorong hal itu jadi prioritas.
Hasanuddin memberi contoh masa- lah perairan Ambalat, Kalimantan Timur, yang
berbatasan dengan Malaysia. “(Salah satu) proyeksinya untuk meningkatkan
alutsista dan kinerja pasukan TNI AL dalam menjaga (laut) Ambalat,” tutur
purnawirawan jenderal bintang dua itu. Kepala Pusat Komunikasi Publik
Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal TNI Jundan Eko Bintoro
Bersyukur
apabila rencana pe- ningkatan anggaran pertahanan hingga Rp 200 triliun itu
didukung DPR. “Ya, alhamdulillah. Artinya, kita melakukan percepatan menu- ju
MEF,” ucap Jundan. Sejak 2010, anggaran pertahanan, termasuk untuk TNI, terus
ditingkatkan. Seperti tahun lalu, anggarannya baru mencapai 0,89 persen dari
produk domestik bruto (GDP) Indonesia. Tahun ini, dengan anggaran pertahanan
total Rp 94,9 triliun, berarti meningkat, menjadi 0,9-1 persen dari GDP. Dengan
peningkatan mencapai Rp 200 triliun, menurut Jundan, TNI lebih cepat mencapai
ke- kuatan dasar minimal atau minimum essential forces (MEF).
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, ujar
Jundan, juga selalu menekankan rencana men- capai kekuatan minimal itu dengan
penambahan atau memodernisasi alutsista. Targetnya, MEF bisa dicapai pada 2024.
Namun, melihat kebutuhan saat ini, penguatan alutsista men- desak dilakukan. Kebutuhan
terutama untuk menghadapi ancaman nyata, seperti bencana alam, bukan lagi dalam
bentuk ancaman perang konvensional. “Untuk (menangani bencana) itu, perlu mo-
dernisasi TNI AU dengan menambah pesawat angkut, seperti C-17 atau helikopter
sekelas Chinook,” kata Jundan. C-17 Globemaster III adalah jenis pesawat angkut
militer buatan Boeing. Pesawat yang mampu mengangkut tank berat maupun
helikopter itu dipakai oleh Angkatan Udara Amerika Serikat, Inggris, dan
Kanada.
Adapun
untuk TNI AL, menurut Jundan, akan diproyeksikan penguatan alutsista yang
mendukung Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, yang dicanangkan Presiden Joko
Wi- dodo. “Semisal helikopter antikapal selam dan menambah jumlah kapal
(perang),” ujarnya. Begitupun Angkatan Darat, perlu ditambah dan dimodernisasi
alutsistanya. Masalahnya, dari anggaran pertahanan RI saat ini, sekitar 35
persen masih dialokasikan untuk belanja pegawai. Pos ini termasuk penge- luaran
gaji pegawai negeri sipil dan prajurit di Kementerian Pertahanan dan TNI. Sedangkan
belanja modalnya hanya sekitar 32 persen dan belanja barang 26,17 persen.
“Padahal belanja modal-lah yang harus dibesarkan karena di sini untuk
kepentingan pembelian alutsista,” tutur Jundan. Meski anggaran pertahanan belum
meningkat signifikan,
TNI
AU tetap mengajukan permohonan pengadaan pesawat angkut militer modern kepada
Kementerian Pertahan- an. Menurut Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna,
berdasarkan kajian pihaknya, dibutuhkan setidaknya empat pesawat sejenis
Antonov An-70 buatan Rusia atau A-400M produksi Airbus di Prancis. A-400 M
adalah pesawat angkut militer dengan empat turboprop. Satu batalion
tempur bisa diangkut hanya dengan 3 atau 4 pesawat jenis ini. “Kalau pakai
Hercules butuh minimal 9-10 pesawat,” Sementara itu, untuk pesawat tempur, TNI
AU memerlukan Sukhoi Su-35 dan F-16 Viper untuk menggantikan skuadron F-5 TNI
AU. Pengajuan itu masuk dalam Rencana Strategis TNI 2015-2019. Pengajuan juga
termasuk peng adaan radar udara yang belum seluruhnya meng-cover seluruh
wilayah Indonesia. Namun hal itu baru sebatas pengajuan. Mengenai kapan dan
berapa yang bisa dipe- nuhi, Agus menyerahkan kepada Kementerian Pertahanan.
Kendati begitu, pasca-musibah Hercules, ada komitmen DPR dengan TNI untuk
membeli alutsista TNI yang baru, tidak lagi bekas.
Apalagi ada perintah Presiden Jo- kowi
untuk merombak manajemen dan sistem pengadaan alutsista TNI. “Selain (akan
beli) baru, juga lengkap (terma- suk persenjataan),” kata Agus. Ketua Pusat
Studi Politik dan Keamanan Uni- versitas Padjadjaran, Bandung, Muradi menga-
takan rencana anggaran pertahanan Rp 200 triliun itu baru 1,5 persen dari GDP.
Angka itu baru bisa dicapai pada 2017. Di banyak negara, anggaran pertahanan
normalnya 2,0 persen dari GDP. “(Anggaran pertahanan) kita paling rendah, setara
dengan Laos dan Kamboja. Malah Vietnam di atas 4 persen dari GDP,” ujar Muradi.
Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie juga menilai anggaran yang akan
dicapai se- besar Rp 200 triliun itu hanya bisa menambah sedikit untuk
pengadaan alutsista serta peneli- tian dan pengembangan teknologinya. “Dengan
(angka Rp 200 triliun) itu baru 2 persen dari GDP. Idealnya 5 persen GDP,
sesuai dengan perkembangan konstelasi kawasan,” demikian kata Direktur
Indonesia Maritime
Studies tersebut.
No comments:
Post a Comment