Tuesday, January 5, 2016

UPAYA BELA NEGARA

BELA NEGARA, TAPI BUKAN TENTARA
TARGET 100 JUTA KADER BELA NEGARA DALAM 10 TAHUN DINILAI SULIT DIPAHAMI. PEMBANGUNAN PUSDIKLAT DI RUMPIN, BOGOR, DIKEBUT.

      SEJUMLAH  truk molen (concrete mixer) bergantian menuangkan se­ men cor pada bangunan bertingkat yang konstruksinya sedang digarap ratusan pekerja. Sebagian di antara mereka si­ buk mengerjakan fondasi di sekeliling gedung, yang baru sampai lantai dua,. Di sebelah proyek dua gedung—rencana­ nya hanya tiga lantaiitu, sejumlah alat berat sedang dioperasikan para teknisi untuk membuat sarana olahraga. Buldoser merapikan tanah yang kelak menjadi lapangan sepak bola, sementara mesin penggilas meratakan lintas­ an atletik yang mengelilingi lapangan.

      Bangunan itu bakal menjadi mess pelatih, staf, serta karyawan Pusat Pendidikan dan Pela­ tihan Bela Negara Kementerian Pertahanan RI. Di area pusdiklat yang berlokasi di Pabuaran, Desa Cibodas, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tersebut, rencananya juga akan didirikan asrama untuk peserta program bela negara. Selain asrama putra ­p utri, di lahan seluas 7 hektare yang dikelilingi perkebunan karet PT Pintu gerbang menuju Pusdiklat Bela Negara di Rumpin, Bogor. Melintasi perkebunan karet.

   
      Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu (tengah) didampingi Direktur Bela Negara Direktorat Jenderal  Potensi Pertahanan Laksamana Pertama TNI M. Faizal (kanan) menjelaskan soal program bela negara di gedung Kemenhan, Jakarta, Senin (12/10).  dicanangkan pemerintah mulai tahun ini. Pada 2015, Kemenhan akan membentuk 4.500 kader pembina bela negara di 45 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Program itu rencananya akan diresmikan pekan ini. Setelah membentuk kader pembina, pada tahun depan Kemenhan akan menggelar pro­ gram kader bela negara.

       Targetnya, menurut Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, mulai 2016, dalam 10 tahun, 100 juta orang bisa mengikuti program yang akan diwajibkan bagi warga negara berusia 50 tahun ke bawah tersebut. Ryamizard berpatokan pada aturan bela negara dalam Undang ­U ndang Dasar 1945 dan Undang ­Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

JADI (BELA NEGARA) BUKAN SEMATA UNTUK (SIAP) BERPERANG.

       “Ini (program) menumbuh kembangkan cinta Tanah Air, rela berkorban, berupa latihan fisik dan psikis. Batasan umur 50 ke bawah, ini never ending process, sejak (usia) PAUD hingga perguruan tinggi,” ujar mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu di kantor Kemenhan, Jakarta Pusat, Senin, 12 Oktober lalu. Namun, alih ­alih mendapat dukungan, belum juga dicanangkan, program itu sudah mendapat tentangan kiri kanan. Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Tubagus Hasanuddin, menyebut rencana membentuk 100 juta kader bela negara dalam 10 tahun sulit dipahami. Jika itu targetnya, dalam satu tahun akan ada pelatihan bagi 10 juta orang atau sekitar 830 ribu warga per bulan. Jumlah itu sangat tidak sebanding dengan sarana pelatihan Kemenhan, yang hanya mampu menampung sekitar 600 orang. Belum lagi biaya melatih 100 juta kader itu. “Seandainya dalam 5 tahun dilatih 50 juta orang, kalau biaya per orang Rp 10 juta, butuh anggaran Rp 500 triliun. Itu uang dari mana?” tutur politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini. Menurut dia, kewajiban warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara me­mang diatur dalam UUD 1945, yakni Pasal 30 Ayat 1. Namun, dalam ayat 5 pasal yang sama disebutkan bahwa keikutsertaan warga negara dalam usaha tersebut akan diatur dalam un­ dang ­undang.

      Hal yang sama terdapat dalam Undang ­Undang Pertahanan Negara Pasal 9 ayat 3, yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang ­ un dang. Nah, masalahnya, Indonesia belum memiliki UU Bela Negara serta peraturan pendukung­ nya, misalnya peraturan presiden atau kepu­ tusan presiden. “Pemerintah belum pernah membicarakan soal ini dengan DPR,” ucap Hasanuddin saat dihubungi Selasa pekan lalu. Ia menilai kegiatan Pramuka atau pelatihan kewiraan juga sudah menumbuhkan rasa cinta Tanah Air serta kesigapan membantu saat negara mengalami bencana. “Itu juga bagian dari bela negara. Jadi (bela negara) bukan semata untuk (siap) berperang,” katanya. Senada dengan Hasanuddin, Koalisi Masya­ rakat Sipil menilai program bela negara lebih te­ pat jika dijalankan Kementerian Pendidikan jika Tubagus Hasanuddin dan Al Araf konteksnya menumbuhkan rasa nasionalisme. Seperti melalui pendidikan kewarganegaraan dan memaksimalkan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, seperti Pramuka, Palang Merah Remaja, atau Pasukan Pengibar Bendera.

       Juru bicara koalisi, yang juga Direktur Impar­ sial, Al Araf, menilai program bela negara akan membebani anggaran pertahanan negara jika dilaksanakan Kemenhan. Sebab, di sisi lain, anggaran untuk penguatan alat utama sistem persenjataan masih terbatas. Indonesia baru bisa mewujudkan kekuatan militer minimal (minimum essential force) pada 2024. “Sementara itu, kesejahteraan prajurit masih sangat kurang,” ujar Araf di Jakarta, Rabu, 14 Oktober lalu. Araf juga meminta, bela negara tidak ditafsir­ kan sebagai bentuk militerisasi sipil, melainkan bentuk peran serta masyarakat dalam membangun serta menghadapi berbagai macam persoalan bangsa. “Aktivis lingkungan dan aktivis antikorupsi juga bagian dari membela negara,” tuturnya. Direktur Bela Negara Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kemenhan Laksamana Pertama TNI Muhammad Faizal menampik Anggota Pramuka berbaris saat pembukaan sebuah jambore daerah. Pramuka juga dianggap salah satu kegiatan bela negara.  anggapan bahwa bela negara merupakan upaya militerisasi sipil.

         Bela negara, ujarnya, merupakan kegiatan untuk menumbuhkan kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Orang salahnya, bela negara dianggap kegiatan seperti militer,” ucapnya. Kecintaan terhadap NKRI akan membuat warga negara tanggap terhadap berbagai ancaman, seperti bahaya narkoba. “Ini bagian dari revolusi men­ tal,” kata Faizal. Ia menyebut program bela negara baru akan dilaksanakan dalam skala nasional tahun ini, meski secara terbatas sudah dilakukan 15 ­2 0 tahun lalu. Tidak hanya di Pusdiklat Kemenhan, pelatihan juga bakal digelar di satuan satuan pendidikan TNI, Resimen Induk Komando Daerah Militer atau batalion, bekerja sama dengan pemerintah daerah.

        Meski hal itu masih banyak dipertanyakan, Kemenhan tak surut melangkah. Apalagi de­ sain induk (grand design) program pembinaan kesadaran bela negara (PKBN) dirancang sejak awal tahun ini. “Harapannya, akan ditetapkan dalam keputusan presiden. Jadi akan menjadi acuan kementerian dan lembaga dalam me­ laksanakan PKBN,” ujar perwira TNI Angkatan Laut itu.


Meningkatkan alutsista di 2 MATRA -TNI AL dan TNI AU

      MUSIBAH jatuhnya pesawat Hercules KC-130B TNI Angkatan Udara di kawasan Padang Bulan, Medan, pada Selasa, 30 Juni 2015, kembali membuka mata banyak kalangan peri- hal pentingnya memperbarui alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Meski dinyatakan laik terbang, usia Hercules yang jatuh di kawas- an pemukiman dan menewaskan lebih dari 120 orang itu dinilai sudah uzur. Pesawat angkut militer bernomor registrasi A-1310 tersebut diproduksi pada 1958. Pada 1960, pesawat yang aslinya merupakan pesawat angkut itu dimodifikasi menjadi varian tan- ker udara atau KC-130B sebelum dioperasikan mulai 18 April 1961. Tentara Indonesia mulai memakai pesawat itu pada 1964, masih pada era Presiden Sukarno. Hercules yang jatuh itu hanya satu dari peralatan militer TNI yang tergolong tua.

      Tengok data mengejutkan yang dirilis Center for Strategic and International Studies (CSIS). Operasi 52 persen alutsista TNI ternyata lebih dari 30 tahun. Per Desember 2014, TNI meng- operasikan 160 jenis alutsista, terdiri atas 64 persenjataan matra darat, 56 matra laut, dan akan difokuskan untuk membangun alutsista Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Berbagai permasalahan negara terkait per- batasan laut dan udara mendorong hal itu jadi prioritas. Hasanuddin memberi contoh masa- lah perairan Ambalat, Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Malaysia. “(Salah satu) proyeksinya untuk meningkatkan alutsista dan kinerja pasukan TNI AL dalam menjaga (laut) Ambalat,” tutur purnawirawan jenderal bintang dua itu. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal TNI Jundan Eko Bintoro

       Bersyukur apabila rencana pe- ningkatan anggaran pertahanan hingga Rp 200 triliun itu didukung DPR. “Ya, alhamdulillah. Artinya, kita melakukan percepatan menu- ju MEF,” ucap Jundan. Sejak 2010, anggaran pertahanan, termasuk untuk TNI, terus ditingkatkan. Seperti tahun lalu, anggarannya baru mencapai 0,89 persen dari produk domestik bruto (GDP) Indonesia. Tahun ini, dengan anggaran pertahanan total Rp 94,9 triliun, berarti meningkat, menjadi 0,9-1 persen dari GDP. Dengan peningkatan mencapai Rp 200 triliun, menurut Jundan, TNI lebih cepat mencapai ke- kuatan dasar minimal atau minimum essential forces (MEF).

      Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, ujar Jundan, juga selalu menekankan rencana men- capai kekuatan minimal itu dengan penambahan atau memodernisasi alutsista. Targetnya, MEF bisa dicapai pada 2024. Namun, melihat kebutuhan saat ini, penguatan alutsista men- desak dilakukan. Kebutuhan terutama untuk menghadapi ancaman nyata, seperti bencana alam, bukan lagi dalam bentuk ancaman perang konvensional. “Untuk (menangani bencana) itu, perlu mo- dernisasi TNI AU dengan menambah pesawat angkut, seperti C-17 atau helikopter sekelas Chinook,” kata Jundan. C-17 Globemaster III adalah jenis pesawat angkut militer buatan Boeing. Pesawat yang mampu mengangkut tank berat maupun helikopter itu dipakai oleh Angkatan Udara Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.

       Adapun untuk TNI AL, menurut Jundan, akan diproyeksikan penguatan alutsista yang mendukung Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, yang dicanangkan Presiden Joko Wi- dodo. “Semisal helikopter antikapal selam dan menambah jumlah kapal (perang),” ujarnya. Begitupun Angkatan Darat, perlu ditambah dan dimodernisasi alutsistanya. Masalahnya, dari anggaran pertahanan RI saat ini, sekitar 35 persen masih dialokasikan untuk belanja pegawai. Pos ini termasuk penge- luaran gaji pegawai negeri sipil dan prajurit di Kementerian Pertahanan dan TNI. Sedangkan belanja modalnya hanya sekitar 32 persen dan belanja barang 26,17 persen. “Padahal belanja modal-lah yang harus dibesarkan karena di sini untuk kepentingan pembelian alutsista,” tutur Jundan. Meski anggaran pertahanan belum meningkat signifikan,

      TNI AU tetap mengajukan permohonan pengadaan pesawat angkut militer modern kepada Kementerian Pertahan- an. Menurut Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna, berdasarkan kajian pihaknya, dibutuhkan setidaknya empat pesawat sejenis Antonov An-70 buatan Rusia atau A-400M produksi Airbus di Prancis. A-400 M adalah pesawat angkut militer dengan empat turboprop. Satu batalion tempur bisa diangkut hanya dengan 3 atau 4 pesawat jenis ini. “Kalau pakai Hercules butuh minimal 9-10 pesawat,” Sementara itu, untuk pesawat tempur, TNI AU memerlukan Sukhoi Su-35 dan F-16 Viper untuk menggantikan skuadron F-5 TNI AU. Pengajuan itu masuk dalam Rencana Strategis TNI 2015-2019. Pengajuan juga termasuk peng adaan radar udara yang belum seluruhnya meng-cover seluruh wilayah Indonesia. Namun hal itu baru sebatas pengajuan. Mengenai kapan dan berapa yang bisa dipe- nuhi, Agus menyerahkan kepada Kementerian Pertahanan. Kendati begitu, pasca-musibah Hercules, ada komitmen DPR dengan TNI untuk membeli alutsista TNI yang baru, tidak lagi bekas.

       Apalagi ada perintah Presiden Jo- kowi untuk merombak manajemen dan sistem pengadaan alutsista TNI. “Selain (akan beli) baru, juga lengkap (terma- suk persenjataan),” kata Agus. Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Uni- versitas Padjadjaran, Bandung, Muradi menga- takan rencana anggaran pertahanan Rp 200 triliun itu baru 1,5 persen dari GDP. Angka itu baru bisa dicapai pada 2017. Di banyak negara, anggaran pertahanan normalnya 2,0 persen dari GDP. “(Anggaran pertahanan) kita paling rendah, setara dengan Laos dan Kamboja. Malah Vietnam di atas 4 persen dari GDP,” ujar Muradi. Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie juga menilai anggaran yang akan dicapai se- besar Rp 200 triliun itu hanya bisa menambah sedikit untuk pengadaan alutsista serta peneli- tian dan pengembangan teknologinya. “Dengan (angka Rp 200 triliun) itu baru 2 persen dari GDP. Idealnya 5 persen GDP, sesuai dengan perkembangan konstelasi kawasan,” demikian kata Direktur Indonesia Maritime

Studies tersebut. 

TV kabel di Indonesia

PERANG TV KABEL

     Indah belum satu bulan ber- langganan televisi kabel. Karyawati dengan tiga anak ini belum me- nguasai betul fitur-fitur yang ada di layanan yang ia bayar karena niat utamanya sebenarnya berlangganan Internet cepat. Saat membicarakan sebuah acara televisi yang sudah diputar beberapa hari sebelum- nya, seorang kerabat mengambil remote con- trol dan acara yang dimaksud tiba-tiba saja muncul di layar kaca. “Lo, ternyata bisa menonton acara yang sudah lewat?” ujar Indah
     
       Televisi berbayar yang menggunakan ja- ringan kabel—bukan satelit dengan antena parabola—memang lebih interaktif. Penonton lebih berperan, termasuk memutar kembali acara-acara yang sudah lewat dengan hanya sekali klik. Televisi yang dilanggani Reni itu adalah Indi- Home milik Telkom dan ini bukan satu-satunya yang bertempur di pasar televisi kabel. Grup MNC, yang memiliki televisi berbayar satelit paling awal, mengoperasikan Play Media. Yang terbaru, Grup Sinar Mas bekerja sama Seorang eksekutif Play Media dengan perusahaan Singapura membuat cap My Republic TV.

        Pertumbuhannya cukup bagus. Koordinator Kreatif dan Pemasaran IndiHome Bambang Elf mengatakan pertumbuhan jumlah pelanggan TV kabel setiap tahunnya di Indonesia cukup kencang. “Mencapai 100 ribu pelanggan,” katanya. My Republic, yang belum setahun beroperasi, sudah meraih belasan ribu pelanggan. “Ini dalam rentang waktu 4 bulan saja,” kata General Manager Marketing and Communication My Republic Winnie Soelarso.

       Kelebihan utama televisi kabel, dibanding TV satelit, memang fitur interaktifnya itu. Se- lain itu, jumlah saluran televisi kabel bisa se- banyak-banyaknya. Jumlah saluran di televisi satelit dibatasi lebar frekuensi. Jika kualitas hendak ditingkatkan menjadi high definition (HD), yang jauh lebih tajam, jumlah saluran mesti dikurangi. “Kalau TV kabel terserah kita,” ucap Winnie. Tapi, dari sisi bisnis, jangkauan televisi kabel tidak seluas layanan menggunakan satelit. Televisi satelit bisa menjangkau di wilayah mana pun selama masih di bawah langit. Tapi televisi kabel berbeda, butuh infrastruktur, butuh kabel yang diulur. “Akhirnya terkotak. Kami hanya bermain di kota besar dan second city atau kecamatan,” kata Winnie.

        Karena pasar televisi berbayar via satelit mencakup seluruh wilayah Indonesia, pasar nya sangat luar biasa besar. Saat ini ada sekitar 70 juta rumah tangga Indonesia. Jika separuhnya saja menjadi pelanggan televisi satelit, jumlah itu merupakan pasar yang besar. “Jadi sekitar 30 juta keluarga jadi kue mereka,” tutur Winnie. Jika hanya bersaing dalam urusan acara atau saluran televisi, televisi kabel kesulitan bersaing melawan televisi satelit. Maka sejumlah jurus dimainkan. Pertama, keunggulan
teknologi, di antaranya bisa menonton film yang sudah diputar.
        Maka mereka menjual paket televisi berbayar ini dengan layanan Internet supercepat menggunakan jaringan serat optik. “Ini menjadi kekuatan kita,” ucapnya. Hal yang sama diungkapkan Ade Tjendra, Commercial Director PT MNC Kabel Mediacom, yang mengoperasikan Play Media. “Saat kami memasang kabel, tidak hanya kasih servis TV, tapi juga Internet,” tuturnya. Itu sebabnya, peluang berkembang Internet kabel di Indonesia besar karena masih sangat sedikit rumah yang berlangganan. “Di Indo- nesia, fixed broadband saja baru 5 persen,” katanya. “Jadi potensinya masih besar, bisnis- nya masih besar untuk berkembang.” Dari sisi biaya investasi, persaingan dengan televisi satelit sebenarnya malah tidak berbe- da banyak. Menurut Winnie, mereka memang mesti mengeluarkan dana untuk mengulur kabel.

        Tapi televisi satelit bukan tanpa infratruktur yang mahal. Mereka butuh biaya besar untuk sewa satelit. “Itu belanja yang besar di awal,” ucapnya. Ia mengungkapkan, biaya menyewa satelit selama 15 tahun sebesar US$ 200-300 juta (Rp 3-4,5 triliun). Sedangkan untuk televisi kabel, rata-rata satu sambungan kabel mem- butuhkan biaya US$ 100-400 (Rp 1,5-6 juta), tergantung kepadatan penduduknya. Untuk menutupi biaya itu, operator televisi kabel mendapatkan pemasukan dari iuran pelanggan televisi, pelayanan Internet, serta iklan.


          Untuk menekan biaya infrastruktur, mereka mencari wilayah dengan kepadatan tinggi, seperti Jakarta atau perumahan-perumahan di pinggiran. Itu sebabnya, persaingan mereka pun terjadi di kota-kota besar. Semua ber- main di Jabodetabek serta kota besar, seperti Surabaya atau Medan. Namun Play Media terus terang menga- takan belum mau investasi sampai Papua. “Kultur dan kebutuhan Internet di sana belum begitu besar,” ucap Ade.

Generasi Digital

Generasi Digital

YANG ‘BEDA’
ANAK ZAMAN SEKARANG BEDA. TAK BISA DIASUH DENGAN CARA-CARA LAMA. BENARKAH?


      USIANYA baru 2 tahun. Tapi Shira sudah akrab dengan yang namanya komputer tablet. Tangan mungilnya mahir menyentuh tombol-tombol saat memainkan game favoritnya. Dia memang belum bisa membaca. Namun dia sudah hafal mana tombol untuk masuk ke dalam permainan dan mana tombol untuk keluar dari permainan.
      Anak zaman sekarang memang beda. Rasa- nya zaman dulu tak bisa lagi jadi tolok ukur anak-anak zaman sekarang. “Karena memang karakteristiknya juga beda,” ujar psikolog anak Elizabeth T. Santosa. Perempuan cantik yang akrab disapa Lizzie itu mengatakan anak-anak era digital memiliki karakteristik yang lebih kompleks. Salah satu yang paling menonjol adalah menyukai kepraktisan. Selain itu, anak-anak zaman sekarang memiliki ambisi besar, instan, cinta kebebasan, percaya diri, ingin diakui, dan menyukai hal-hal berbau digital serta teknologi informasi. Jadi jangan heran jika ada anak 5 tahun yang menyuruh orang tuanya menonton YouTube agar bisa mengetahui cara membuat kue atau penganan favoritnya. Dengan fakta-fakta itu, mau tak mau orang tua seakan di- wajibkan mengubah pola pengasuhan terhadap anak. Lizzie mengakui membesarkan anak di era digital bukan perkara mudah.
     Dunia Internet dengan segala macam keterbukaan bisa menjadi dunia kejam untuk siapa saja, apalagi anak-anak yang belum matang secara psikologis. Dan meskipun saat ini media sosial hanya boleh diakses untuk anak yang sudah berusia 13 tahun, ternyata banyak juga anak-anak yang belum genap 10 tahun sudah memiliki akun media sosial. Ada banyak sekali bahaya yang mengancam anak-anak dan remaja yang kecanduan media sosial. Salah satunya adalah anak-anak belum berpikir ke depan soal zona privasi yang bisa mengancamnya. Nah, di sinilah salah satu peran pendampingan orang tua. Mereka sebaiknya menyampaikan kepada anak-anak agar memahami bahwa mereka belum cukup umur untuk bergabung dengan media sosial. Dengan pendampingan orang tua, dunia Internet juga bisa memberi hal positif untuk anak-anak.
     Bahkan, melalui Internet, anak- anak bisa mengembangkan ide-ide kreatifnya. Jika orang tua tidak selalu bersama anak, Lizzie menyarankan agar orang tua merangkul dan memberi pemahaman kepada pengasuh untuk mengawasi kegiatan anak bersama Internet. “Mereka kan semacam perpanjangan ta- ngan orang tua untuk mendidik anak-anak,” kata Lizzie.
SEBAIKNYA TAK DILARANG
Mungkin karena tak ingin anaknya terkena dampak buruk Internet, banyak orang tua akhirnya melarang anak-anak bermain deng- an gadget. Namun, menurut Lizzie, larangan juga bukan tindakan bijak. Menurut dia, melarang anak-anak hanya akan membuat anak tertekan. Selain itu, anak- anak menjadi kurang berkembang. Padahal, dengan Internet, mereka bisa mendapatkan ide-ide brilian.
Lizzie pun menyarankan agar orang tua tidak melarang, tapi membatasi anak-anak bermain bersama gadget. Misalnya dengan membuat jadwal berapa jam dalam sehari boleh memegang gadget. “Atau bisa saja membuat kesepakatan deng- an anak, ka  p an waktu yang mereka inginkan, orang tua tinggal mengatur waktunya,” ujar penulis buku Raising Children in Digital Era itu.
     Psikolog Roslina Verauli juga sepakat bahwa gadget bisa menjadi media belajar untuk anak- anak. Namun orang tua sebaiknya memberi- kan gadget kepada anak-anak sesuai porsinya. Menurut Roslina, anak-anak sebaiknya ber- main gadget hanya satu sampai dua jam sehari. Jika lebih dari itu, anak-anak bisa kecanduan dan menyebabkan hal-hal yang merugikan. “Kalau lebih, berarti proses pembelajaran tidak tepat, jadi tidak sehat,” katanya. Roslina pun berharap para orang tua tidak menjadikan gadget sebagai babysitter dadak-an, meskipun orang tua tersebut sangat sibuk dan tidak ingin anaknya rewel. Orang tua sebaiknya tetap menyempatkan diri bermain bersama anak, entah itu sekadar membacakan cerita atau sekadar obrolan sebelum anak-anak tidur. “Percuma kalau belajar gadget tapi tidak ada supervisi dari orang tua. Nanti anak ha- nya akan bergantung pada gadget,” katanya. Seperti yang dilakukan Lulu, seorang ibu satu anak. Dia membiarkan anaknya bermain dengan tablet selama diawasi, baik olehnya
sendiri maupun pengasuh anak.
     Selain itu, Lulu menerapkan jam bersama  gadget untuk anaknya. Dalam sehari, anak Lulu, yang masih berusia 5 tahun, hanya boleh bermain gadget selama dua jam. “Sisanya, dia biasanya beraktivitas fisik, seperti bermain sepeda atau bola di halaman rumah,” katanya.

ADELINE WAHYU | KEN YUNITA

MAJALAH DETIK 19 - 25 OKTOBER 2015

Friday, January 1, 2016

MEGA PROYEK TANGGUL RAKSAKSA DI JAKARTA

MENGAMBIL UNTUNG DARI TANGGUL GIANT SEA WALL

     Adalah membuat tanggul raksasa di Teluk Jakarta. Tujuannya agar air laut tidak seenaknya menerjang Ibu Kota dan air dari daratan bisa dengan gampang mengalir. Tapi, jika hanya membuat tanggul, pemerintah tidak mendapatkan hasil apa pun. Itu sebabnya, kemudian muncul ide agar tanggul itu juga dijadikan kawasan baru dan diuruk. Biaya juga bisa ditanggung investor reklamasi itu.Tanggul  laut itu 34 kilometer, terpanjang di dunia. Danau buatan dan lahan reklamasi seluas sekitar 40 ribu hektare tercipta dari dam raksasa itu. Mulai dibangun awal 1990-an, tanggul itu dibuka untuk umum pada 2010. 

     Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pekan lalu mengunjungi tanggul raksasa di Korea Selatan bernama Saemangeum itu. Ia ingin menjadikan tanggul di Korea itu sebagai pembanding dengan rencana Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Satu hal langsung dilihat oleh wakil gubernur yang akrab dipanggil Ahok itu. Perbedaan utama tanggul itu dengan Giant Sea Wall adalah konsepnya. Tanggul di Saemangeum hanya untuk penahan ombak, sedangkan Giant Sea Wall di Jakarta juga dimanfaatkan untuk reservoir atau penampungan air tawar. “Beda sekali konsepnya,” kata Ahok. 

   Ide membangun tanggul raksasa datang dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak era Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Rencana awalnya, tanggul ini dibangun hanya untuk menahan ombak besar dan banjir yang datang dari arah utara Jakarta. Namun, setelah dibahas bersama pemerintah pusat, proyek ini akhirnya berkembang bukan hanya membangun tanggul. “Sekarang lebih dikembangkan,” ujar Bastary Pandji Indra, Direktur Pengembangan Kerja Sama Pemerintah dan Swasta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Pemerintah menyebut proyek ini sebagai National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). 

    Tanggul itu akan disertai reklamasi besar- besaran, menciptakan kota mandiri di sepanjang tanggul. Desain kota mandiri ini berbentuk garuda, burung legenda yang menjadi simbol Indonesia. Proyek NCICD fase pertama adalah pembangunan Giant Sea Wall. Tanggul ini Tukang perahu mencari Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Kawasan memiliki fungsi ganda. Pertama, air laut tak bisa masuk karena tanggulnya mencapai 6 meter dari permukaan air. Selain itu, tanggul membuat air tawar dari sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak langsung ke laut. Air tawar ini bakal menjadi sumber bahan air baku untuk penduduk Ibu Kota. Kapasitas kolam air tawar ini mencapai 1 miliar meter kubik dengan luas 10 ribu hektare. Air ini diharap cukup untuk memasok kebutuhan warga DKI Jakarta hingga 2080. Pembangunan tanggul ini juga diikuti dengan reklamasi lahan untuk membangun fasilitas MRT sepanjang 11 kilometer dan jalan tol  yang menghubungkan Tangerang dan Bekasi sepanjang 43 kilometer. 

    Pembangunan tanggul ini juga disatukan dengan reklamasi 17 pulau di kawasan utara Jakarta seluas 3.000 hektare. Menurut Budi Karya Sumadi, Direktur PT Jakarta Propertindo, badan usaha milik pemerintah Jakarta yang menjadi koordinator reklamasi 17 pulau itu, “Reklamasi itu adalah usulan dari swasta yang dikoordinasi dan sudah ada delapan perusahaan pengembang properti yang menyatakan ikut.” Selain reklamasi 17 pulau dan Giant Sea Wall, nantinya juga dilakukan reklamasi seluas 1.000 hektare di sebelah timur dan seluas 900 hektare di sebelah barat Giant Sea Wall. Di sebelah timur Giant Sea Wall, yang mencakup kawasan Cilincing, Marunda, ke arah Tanjung Priok, akan dibangun pusat logistik dan fasilitas pelabuhan laut dalam. Di sebelah barat Giant Sea Wall akan dibangun kawasan komersial, seperti pusat jasa keuangan, jasa perdagangan, dan pariwisata. Proyek reklamasi yang hampir mencapai 5.000 hektare itu diperkirakan menelan biaya lebih dari Rp 250 triliun dan dilaksanakan pihak swasta. Proses reklamasi itu diperkirakan memakan waktu 10-20 tahun. Sedangkan pembangunan Giant Sea Wall dan fasilitas pendukungnya menjadi domain pemerintah. Dengan kata lain, sumber biayanya berasal dari kantong pemerintah. 

   Sumber pembiayaan pembangunan Giant Sea Wall menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah. Sebab, menurut Asisten Pembangunan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Wiriyatmoko, anggaran pemerintah daerah, misalnya APBD DKI Jakarta, tidak akan mampu membiayai pembangunan Giant Sea Wall. Selain itu, jika dikombinasikan dengan dana APBN, dikhawatirkan akan memicu masalah karena pembangunan itu hanya untuk kepentingan Kota Jakarta, bukan Indonesia. “Jadi sebaiknya, setelah reklamasi selesai, baru kita ng o m o ngin  soal Giant Sea Wall,” ujarnya. Menurut Wiriyatmoko, pihak swasta yang ikut dalam reklamasi bisa saja diminta terlibat dalam pembangunan Giant Sea Wall, misalnya dengan membentuk konsorsium. Namun keterlibatan swasta ini baru dilakukan setelah mereka sudah balik modal.


BANDARA ALI SADIKIN JAKARTA


BANDARA ALI SADIKIN MASUK TAHAP KETIGA, SETELAH PROYEK REKLAMASI GIANT SEA WALL SELESAI.


   Ali Sadikin International Airport namanya. Mantan  Gubernur Jakarta ini dipandang lebih bagus daripada yang semula, Bandara Si Pitung, yang diambil dari tokoh legendaris Betawi. Meski namanya sudah berganti, bandara ini masih di awang-awang. Proyeknya masih jauh dan belum jelas kapan dibuat. Desainnya seperti apa juga belum bisa dipastikan karena masuk tahap C alias proyek yang dibuat setelah reklamasi Giant Sea Wall kelar.

  Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Andi Baso Mappapoleonro memberi ancar-ancar bahwa bandara itu akan menem- pati lahan 400 hektare. Lahannya reklamasi juga, tapi di luar garis Giant Sea Wall, yang berbentuk Garuda. “Area reklamasi nanti akan dijadikan pelabuhan air dan bandar udara,” ucap Andi Baso. Jika jadi dibuat, bandara ini bakal meleng- kapi lapangan udara komersial di Jakarta dan sekitarnya. Saat ini sudah ada Soekarno-Hatta di Cengkareng dan Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur. Pemerintah juga sudah bersiap membangun bandara baru di Karawang, Jawa Barat. 

   Bandara Soekarno-Hatta saat ini sudah terla- lu padat. Setiap satu atau dua menit akan tampak dua pesawat mendarat hampir bersamaan di dua landasan paralel. Bandara itu dirancang untuk melayani 38 juta penumpang per tahun, tapi sekarang sudah melayani lebih dari 60 juta orang. “Tahun 2030 menjadi 150 juta penum - pan g setahun,” kata Direktur Kebandarudaraan Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Bambang Tjahyono. 
  
    Pemerintah kemudian menggagas bandara baru di Karawang. Saat ini bandara Karawang tinggal menunggu pengesahan penyesuai- an terhadap rancangan tata ruang dan tata wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat. “Kalau RTRW Karawang sudah tidak ada masalah,” ucap Bambang. Di saat proses ini, ide Bandara Ali Sadikin muncul. Meski begitu, pemerintah pusat be- lum juga mendapat usulan resminya. Deputi Infrastruktur Sarana dan Prasarana Kemen- terian Koordinator Perekonomian Luky Eko Wuryanto juga mengaku tak tahu-menahu soal proyek bandara itu. “Tanya ke Dirjen Per- hubungan Udara saja,” ucapnya. Kementerian Perhubungan juga belum men- erima proposal pembuatan bandara itu. “Hingga detik ini saya belum menerima usulan itu di meja saya,” ujar Bambang. 

   Meski ada rencana pembangunan bandara di Karawang, Ando Baso mengatakan mereka masih tetap memiliki peluang. “Kalau pemerintah pusat mau Karawang, ya silakan,” katanya. “Tapi kan Karawang itu sawah (yang mesti di- alihfungsikan).” Proyek bandara ini sebenarnya tidak masuk satu paket dengan Giant Sea Wall, yang masuk tahap B, yang dalam masterplan sementara diharap selesai pada 2022. Proyek bandara ini masuk tahap C. Dalam tahap ini, selain bandara, dibangun pelabuhan baru dan Kawasan Ekono- mi Khusus (KEK) Marunda. “Jadi barang-barang dari KEK itu dari sini didistribusikan ke seluruh Nusantara ataupun diekspor ke penjuru dunia, tidak usah lagi ke (bandara) Cengkareng atau ke (bandara) Karawang tadi,” ucap Andi Baso. 
  
   Andi Baso mengatakan kajian konsultan proyek reklamasi pantai utara Jakarta itu sudah menggambarkan tentang di mana letak banda- ranya, tapi titik koordinatnya belum ditetap- kan. “Koordinatnya belum, detail pemanfaatan ruangnya juga belum,” ucapnya. Karena proyek ini belum jelas, soal dana juga belum pasti. “Konsepnya baru kita matang- kan, jadi menunggu pre-feasibility study dulu,” katanya. Yang jelas, pembiayaan akan melibat-kan swasta karena membutuhkan dana yang sangat besar. “Kalau semua memakai APBN, provinsi lain pasti cemburu.” Bandara ini juga diperkirakan tidak akan mengganggu lalu lintas udara bandara lain. 

    Sudut landasan pesawat akan dihitung dengan cermat, sehingga tidak mengganggu lalu lintas di bandara lain. “Itu mereka (konsultan Be- landa) sudah menghitung, dan nanti kalau jadi kan dibuatkan detailnya. Nanti bekerja sama dengan Dirjen Perhubungan Udara,” ucapnya.

Kementerian Perhubungan juga menyatakan, secara teknis lalu lintas udara, dimungkin- kan membuat bandara di sekitar Teluk Jakarta. “Sepanjang kajian masih bisa dipertanggung- jawabkan, itu sah-sah saja,” kata Bambang. Andi Baso menyatakan sudah ada swasta yang berminat menjadi kontraktor. “Sudah ada yang datang, ada beberapa,” ucapnya. Ia menyebut Wiratman and Associates dan partnernya, Fuhai dari Tiongkok. Bahkan Grup Artha Graha juga sudah menyatakan kesiapannya turut ikut dalam pembangunan tersebut. 

   Tapi Wiratman and Associates mengatakan mereka belum pernah membawa usulan untuk membangun bandara. Juru bicara Wiratman, Yulianto, mengatakan, “Karena usulan itu pasti memerlukan kajian tersendiri secara teknis.” Sejauh ini, ujar dia, pihaknya belum melakukan kajian apa pun tentang proyek itu. Namun, secara finansial, apabila diminta ikut dalam proyek itu, pihaknya siap. “Apabila kami diminta, secara teknis finansial kami siap,” ucapnya. 

ALIEN

    Pada pertengahan Agustus 1977, nyaris semua orang di Amerika tengah membicarakan kematian Raja Rock and Roll, Elvis Aaron Presley. Namun Jerry Ehman seolah-olah tak peduli. Alih-alih memelototi berita kematian Elvis di televisi, Jerry, kala itu 37 tahun, malah asyik mencermati cetakan hasil “penyadapan” Observatorium Radio Universitas Negeri Ohio di Columbus, Ohio. Teleskop radio tipe Kraus di kampus Universitas Negeri Ohio mulai dibangun pada 1956 dan beroperasi sejak 1961 untuk “menguping” sinyal-sinyal radio dari luar tata surya. Pada 15 Agustus pukul 10.16 malam, sehari sebelum kematian Elvis, Big Ear alias Si Kuping Besar—julukan bagi Observatorium di Columbus itu—menangkap sinyal tak biasa. Pada satu kolom vertikal tertulis “6EQUJ5”. 
    
     Biasanya, data-data dari Big Ear hanya memuat angka-angka dari 1 dan 2. Semakin besar angka, berarti semakin besar intensitas sinyal radio itu. Huruf “U” kurang-lebih nilainya setara angka 31. “Aku tak pernah menemui sinyal radio sekuat itu sebelumnya,” kata Jerry. Setelah dihitung, sumber sinyal selama 20 detik itu diperkirakan berasal dari konstelasi bintang Sagitarius, sekitar 2,5 derajat ke arah selatan dari kelompok bintang Chi Sagittarii. Jerry girang tak kepalang saat membaca sinyal radio itu—dengan pena merah dia menulis “Wow” di samping kertas cetakan sinyal. John Krauss dan Bob Dixon, dua bosnya di Big Ear, juga sama senangnya. Mereka menduga ada “sesuatu” di luar angkasa sana yang mengirimkan pesan ke bumi. 

    Selama bertahun-tahun, Ehman dan kawan-kawannya di Big Ear meneliti adakah kemungkinan sumber sinyal lain yang tertangkap teleskop radio Kuping Besar: satelit atau pesawat. Ehman meyakini transmisi pada frekuensi 1420,4556 MHz itu tak berasal dari pesawat atau satelit yang mengorbit bumi. Lalu dari mana sumber sinyal Wow tersebut? Hingga hari ini, sinyal Wow tetap jadi misteri. Walaupun sudah berulang kali mencoba mencari kembali dengan teleskop yang lebih canggih, sinyal serupa tak pernah lagi tertangkap teleskop radio di muka bumi sampai detik ini. “Data-data itu masih kelewat sedikit untuk mengambil kesimpulan. Aku harus mengatakan, asal-muasal sinyal itu masih menjadi satu pertanyaan terbuka,” kata Ehman, empat tahun lalu. 

     Dengan meminjam persamaan astronom Frank Drake, menurut Brian Cox, fisikawan kondang dari Inggris, ditaksir ada dua hingga 50 ribu zona di alam semesta yang bisa jadi ditinggali makhluk cerdas seperti manusia. Mengutip Paradoks Fermi, Profesor Brian bertanya: jika ada ribuan peradaban di alam semesta, mengapa tak sekali pun kita bisa mendeteksi tanda-tanda kehidupan dari luar bumi? “Sebab, hanya satu peradaban dengan teknologi maju di alam semesta dan hanya akan ada satu... yakni kita, manusia. Kita unik,” kata Profesor Cox, pekan lalu.

    Benarkah tak ada peradaban lain, kehidupan makhluk cerdas lain, selain peradaban manusia di bumi? Brian Cox barangkali tak percaya ada kehidupan seperti manusia di luar bumi. Tapi dia juga tidak punya bukti bahwa peradaban makhluk cerdas—entah dia menyerupai manusia atau tidak—tak ada di planet lain. Seth Shostak dan ratusan ilmuwan di Search for Extraterrestrial Intelligence (SETI) Institute, juga mungkin ribuan ilmuwan lain, punya pendapat berseberangan dengan Brian Cox, fisikawan di Universitas Manchester. Namun Shostak, Direktur Pusat Riset SETI, mengingatkan bahwa bisa jadi kehidupan diluar sana sama sekali tak mirip manusia. “Kita tak berasumsi mereka menyerupai kita.... Kita berasumsi ilmu fisika mereka mirip dengan kita.... Bahwa mereka mengirimkan informasi dengan sinyal radio atau laser dari mana pun mereka berada,” Shostak menulis bulan lalu. Berdasarkan asumsi itulah selama puluhan tahun para astronom memasang “telinga” ke atas langit sana, mencoba menangkap sinyal dari luar bumi, dari luar tata surya. 

    Perburuan para astronom mencari tanda- tanda kehidupan di luar bumi masih sangat panjang. Menurut Shostak, pencarian makhluk lain itu masih tahap “bayi”, tak mungkin menyimpulkan apakah ada atau tiada makhluk cerdas lain di luar bumi. “Ibarat perjalanan Columbus mencari benua baru, dia baru berlayar beberapa puluh kilometer dari Spanyol dan berkata, ‘Tak ada apa pun di luar sana,’” kata Shostak. Setelah teleskop Big Ear menangkap sinyal Wow, berulang kali Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mendanai proyek pencarian kehidupan cerdas di luar sana alias proyek SETI. Pada 1992, NASA meluncurkan proyek Microwave Observing Program (MOP) dengan memanfaatkan jaringan NASA Deep Space dan teleskop di Observatorium Arecibo di Puerto Riko. Namun, belum setahun berjalan, proyek itu dibatalkan setelah dikritik oleh Kongres Amerika. Jill Tarter dan SETI Institute melanjutkan proyek MOP setelah Kongres menjegal anggaran proyek tersebut. 

    Tarter dan timnya mengamati sekitar 1.000 bintang terdekat dengan tata surya. Namun, tanpa sokongan pemerintah, proyek SETI itu n g o s-n g o s a n  mempertahankan napas. Kendati sudah pensiun dua tahun lalu, setelah hampir empat puluh tahun memburu kehidupan lain di luar bumi, Jill Tarter tak bisa leyeh-leyeh berjemur di sebuah pantai tropis menikmati hari tua. Dia malah sibuk mencari dana bagi mantan kantornya itu. Kondisi keuangan SETI Research memang sedang benar-benar “tipis”. Mereka terpaksa menghentikan operasi beberapa teleskop radionya karena kurang biaya. “Itu adalah alarm bahaya. Aku tak bisa membiarkannya. Kondisi kami benar-benar kritis,” ujar Tarter, mantan Direktur SETI Research, beberapa waktu lalu. Tarter inilah sumber inspirasi bagi Carl Sagan saat menulis novel Co nt a c t , yang menceritakan soal obsesi Eleanor “Ellie” Ann Arroway berkomunikasi dengan makhluk lain di luar angkasa. Di versi filmnya, Ellie Arroway diperankan oleh Jodie Foster. 

      Selera NASA terhadap proyek pencarian tanda kehidupan lain di luar bumi memang pasang-surut. Tiga pekan lalu, NASA menyetujui dana riset bagi sejumlah lembaga riset, salah satunya SETI Institute, untuk meneliti asal-muasal kehidupan dan mencari kemungkinan kehidupan lain di luar planet ini. “Tidak mungkin di dalam alam semesta seluas ini manusia hidup sendiri,” kata Charles Bolden, Kepala NASA. Michael Garrett, astronom dari Belanda, mengatakan mungkin saja ada peradaban lain di atas sana, tapi jaraknya kelewat jauh dari bumi sehingga sampai detik ini tak terdeteksi rupa-rupa alat observasi.
Bayangkan saja, diameter Galaksi Bima Sakti lebih dari 100 ribu tahun cahaya—1 tahun cahaya kurang-lebih setara dengan 10 triliun kilometer. 

     Sementara itu, kecepatan cahaya di ruang hampa saja hanya sekitar 300 ribu kilometer per detik. Butuh waktu 4 tahun bagi sinyal radio dari bumi untuk menjangkau bintang terdekat setelah matahari, yakni Alpha Centauri. Dan butuh 100 ribu tahun untuk mencapai tepi Galaksi Bima Sakti. Jadi, seandainya ada peradaban modern berjarak 1.000 tahun cahaya dari bumi, menurut Garrett, dengan teknologi saat ini, hampir tak mungkin terjalin komunikasi dengan bumi. Sebab, paling tidak butuh 1.000 tahun hingga sinyal dari bumi tiba di planet itu. “Proyek SETI memang tak gampang, tapi pencarian itu layak dikerjakan. Sebab, pertanyaan itu sangat penting.... Semua orang ingin tahu, bahkan orang-orang di pinggir jalan juga ingin tahu, ada apa di luar sana,” kata Garrett, beberapa pekan lalu


KAPAL DRONE LAUT INDONESIA

DRONE LAUT BUATAN INDONESIA

    Drone tanpa awak lazimnya berbentuk pesawat dan mengintai dari udara. Namun kini muncul alat intai yang beroperasi di air dalam bentuk kapal. PT Lundin Industry Invest telah memperkenalkan prototipe kapal intai tanpa awak atau unmanned surface vessel (USV) tersebut. Prototipe ini diluncurkan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Kepala Staf Angkatan Laut Marsekal (TNI) Marsetio dalam pameran Indo Defence 2014 di Jakarta
Convention Center awal November lalu. Direktur PT Lundin, Lizza Lundin, mengungkapkan prototipe kapal yang dibuat bersama SAAB Swedia ini dapat digunakan dalam berbagai macam operasi. Mulai misi anti pembajakan, intai maritim, misi antikapal selam, misi antiranjau, perang elektronik, hingga beragam misi yang terkait dengan pengawasan lingkungan.

    Angkatan Laut patroli lazimnya oleh satu grup, hal ini tidak perlu terjadi jika menggunakan kapal Drone. Jadi tinggal dikontrol komandan dari markas,” ujar Lizza di  arena pameran. Kapal tanpa awak dengan nama Bonefish berwarna abu-abu tersebut, menurut Lizza, dapat dikontrol sampai sejauh 500 nautical mile atau sekitar 920 kilometer. Untuk urusan persenjataan, meski tanpa awak,nantinya kapal itu dibuat mampu menggotong rudal antikapal RBS15 Mk3, yang berkecepatan subsonik. Rudal ini memiliki jangkauan tembak sampai 200 kilometer. “Kapal ini juga dipersenjatai dengan Naval Gun 40Mk4 dan antiradar karena terbuat dari komposit serat karbon,” kata Lizza. Bukan hanya itu, radar Sea Giraffe 1X 3D, yang memiliki berat 150 kilogram, terpasang pada USV Bonefish. Radar ini diklaim mampu mereduksi efek lengkung bumi. “Dengan dua propeler, kapal bisa melaju hingga kecepatan 40 knot,” ujar perempuan kelahiran 7 Juli 1970 itu.
   
   Rencananya, Bonefish akan mulai masuk masa uji coba pada enam bulan mendatang atau sebelum pertengahan 2015. Lizza pun mengklaim Bonefish sangat cocok untuk Indonesia sebagai negara yang terdiri atas belasan ribu pulau dan dengan garis pantai yang sangat panjang. Bonefish merupakan versi mini dari KRI Klewang, yang merupakan tipe kapal cepat rudal yang dipesan TNI Angkatan Laut. Bodi keduanya sama persis dengan desain trimaran atau tiga lunas. Hanya, ukuran Bonefish kira- kira seperlima dari KRI Klewang. Soal trimaran ini, Lizza bercerita desainnya merupakan hasil kerja sama PT Lundin, TNI AL, dan arsitek k apal Lomocean dari Selandia Baru. Idenya, kata Lizza, diambil dari kapal nelayan. “Kami terinspirasi oleh perahu bercadik nelayan,” ujar Lizza.

    Adapun KRI Klewang bernomor lambung 625 dengan panjang 63 meter mestinya bisa dioperasikan TNI AL sejak akhir 2012. Sayang, kapal siluman seharga Rp 114 miliar itu terbakar di galangan kapal TNI AL Banyuwangi, Jawa Timur, beberapa hari sebelum waktu uji coba perdana laut. “Kejadian itu jadi pelajaran bagi kami bahwa kapal harus 100 persen siap baru diuji coba,” kata Lizza. PT Lundin akhirnya kembali membangun KRI Klewang dan tiga kapal sejenis dengan fasilitas yang lebih canggih mulai 2014. 
   
   Sementara itu, Laksamana Marsetio kepada pers mengatakan Indonesia mungkin akan mempertimbangkan untuk memesan lagi beberapa kapal lainnya dari Lundin asalkan pilihan yang ditawarkan cukup menarik. Diperkirakan, hingga 2024 TNI AL akan mengoperasikan 6-20 unit kapal perang berteknologi siluman dari jenis ini. “Tapi ini masih tergantung biaya akuisisi dan kemampuan tempur yang ditawarkan,” kata Marsetio. Selain dari TNI AL, 

   PT Lundin sudah menerima pesanan kapal militer dari sejumlah negara. Oktober 2014, Angkatan Laut Bangladesh memesan 18 kapal tipe X12 Combat Craft seharga Rp 75 miliar. Kapal patroli dengan panjang total 11,7 meter ini akan dioperasikan Bangladesh Coast Guard. PT Lundin didirikan pada 2001 oleh pasangan John Ivar Alan Lundin asal Swedia dan istrinya, Lizza. Awalnya, perusahaan yang berbasis di Jalan Lundin Nomor 1, Kelurahan Sukowidi, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, itu cuma memproduksi kapal rekreasi.

    PT Lundin baru memasuki industri kapal militer pada 2006 dengan mengikuti pameran alat utama sistem persenjataan di Jakarta. Produk pertamanya adalah X2K Interseptor RIB, sebuah sekoci cepat berbahan komposit dengan panjang 11,3 meter serta kecepatan 50 knot. Kapal ini rupanya diminati dan dipesan Negara Malaysia.


GIANT SEA WALL

GIANT SEA WALL
     
        SALAH satu situs jual-beli rumah menawarkan hunian di kompleks real estate mewah. Lahan rumah itu tidak terlalu spektakuler, hanya 424 meter persegi. Banyak rumah di perkampungan yang lahannya seluas ini. Tapi lihat fasilitas rumah itu: furnitur di dalamnya dari kayu mahoni dan jati. Ada helipad, mungkin agar penghuninya tak perlu didera kecemasan bakal kena macet. Dan—kelebihan rumah-rumah di kompleks itu—ada dermaga kapal pesiarnya. Harga rumah dengan helipad dan dermaga kapal itu Rp 33 miliar. Kompleksnya bernama Pantai Mutiara, terletak di dekat pembangkit listrik Muara Karang. Perumahan ini dibangun di atas tanah urukan atau reklamasi. Reklamasi Pantai Mutiara ini bukan yang terakhir di Teluk Jakarta, malah bakal ditambah 17 pulau buatan lain dan salah satunya bakal digarap perusahaan yang menguruk lahan untuk Pantai Mutiara, yaitu PT Intiland Development. “Proyek (reklamasi) ini adalah extend dari proyek kami sebelumnya, yaitu Pantai Mutiara,” ujar Direktur Pengelolaan Investasi dan Modal

     Intiland, Archied Noto Pradono. Pulau buatan di atas lahan urukan sebanyak 17 itu bagian dari proyek Giant Sea Wall, pembangun tanggul raksasa di Teluk Jakarta. Di tanggul itu bakal dibangun kompleks properti baru dengan desain menyerupai garuda yang sedang mengepakkan sayap. Sebanyak 17 pulau buatan akan berdiri di Teluk Jakarta dan salah satunya bakal dibangun oleh Intiland. Intiland tertarik ikut menggarap pulau buatan itu karena, selain berpengalaman, menjanjikan untuk pengembangan bisnis properti di kawasan utara Jakarta. Apalagi, selain Pantai Mutiara, mereka memiliki Apartemen Regatta. Karena itu, ketimbang mencari lahan baru untuk membangun dan mengembangkan properti, Intiland memilih membangun di lokasi yang sudah memiliki basis pasar. “Kalau reklamasi, kita punya lahan sudah jelas dan lebih cepat daripada bebasin tanah, dan lokasinya strategis di Jakarta,” kata Archied. Untuk menjalankan proyek ini, Intiland menyiapkan dana Rp 7,5 triliun untuk salah satu pulau buatan seluas 63 hektare. Menurut Archied, investasi diperkirakan baru balik modal setelah 10 tahun. Namun Archied belum bisa memastikan berapa besar porsi untuk reklamasi maupun pembangunan fisik dari total dana tersebut karena masih dalam pembahasan internal perusahaan. 
     
     Harga lahan reklamasi yang lebih murah dibanding membebaskan tanah di wilayah Jakarta juga diungkapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka memperkirakan biaya reklamasi sebesar Rp 5-6 juta per meter persegi. Harga ini lebih murah dibandingkan dengan membeli tanah di Jakarta, yang harganya Rp 7-11 juta per meter persegi. Biaya membeli tanah di Jakarta masih bisa bertambah jika harus melakukan pembebasan karena sudah ditempati. “Membangun di lahan reklamasi, faktor sosialnya kecil karena tidak perlu ribut-ribut masalah pembebasan lahan,” kata Asisten Pembangunan Pemprov DKI Jakarta Wiriyatmoko. Selain itu, membangun properti di lahan reklamasi termasuk strategis karena berada di Jakarta, dekat dengan bandara dan pelabuhan serta lokasi bisnis di kawasan Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Pengembang tidak akan memperoleh situasi strategis seperti ini jika membangun di luar Jakarta. 

   Pemerintah juga memberikan konsesi berupa hak guna bangunan (HGB) kepada pengembang untuk membangun kawasan permukiman dan komersial di atas lahan hasil reklamasi. Status hak guna bangunan ini berlaku selama 30 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Sedangkan pemerintah mendapat hak pengelolaan lahan (HPL) alias mengawasi penggunaan tanah agar sesuai dengan peruntukannya. “Swasta dapat konsesi HGB, sedangkan HPL atas nama Pemprov DKI,” tutur Wiriyatmoko. Pemerintah Jakarta bersemangat dengan proyek reklamasi karena juga bakal diuntungkan. Pemerintah provinsi mendapat jatah dari proyek reklamasi ini. Menurut Budi Karya Sumadi, Direktur PT Jakarta Propertindo—perusahaan Pemerintah Provinsi Jakarta yang bertugas mengkoordinasi proyek reklamasi—pemerintah provinsi juga mendapat jatah 30 persen dari total lahan hasil reklamasi dan 5 persen retribusi. 

     Apalagi kewajiban membangun fasilitas umum dan sosial diserahkan kepada tutur Archied. Intiland adalah salah satu dari 8 perusahaan pengembang properti yang akan ikut dalam proyek reklamasi. Lokasi yang didapat Intiland tidak jauh dari Pantai Mutiara. Mereka menjadwalkan proses menguruk dimulai pada kuartal pertama 2015 dan berlangsung selama 3 tahun. Setelah itu, selama 2 tahun berikutnya bakal dimulai proses konstruksi hunian dan kawasan komersial dan pengembang, sehingga pemerintah daerah tidak perlu keluar uang. “Tapi pembangunan fisik setelah reklamasi tidak ada tenggat, tergantung kemampuan masing-masing pengembang,” ujar Budi. Bagi pengembang, mereka tidak keberatan menjalankan kewajiban ini karena mereka menganggapnya sebagai CSR (corporate social responsibility). “Ada kewajiban dari Pemprov DKI yang mesti dijalankan, hal itu merupakan CSR dan sedang kami siapkan dalam anggaran,”