BELA NEGARA, TAPI BUKAN TENTARA
TARGET 100 JUTA KADER BELA NEGARA DALAM
10 TAHUN DINILAI SULIT DIPAHAMI. PEMBANGUNAN PUSDIKLAT DI RUMPIN, BOGOR,
DIKEBUT.
SEJUMLAH truk molen (concrete mixer) bergantian
menuangkan se men cor pada bangunan bertingkat yang konstruksinya sedang
digarap ratusan pekerja. Sebagian di antara mereka si buk mengerjakan fondasi
di sekeliling gedung, yang baru sampai lantai dua,. Di sebelah proyek dua
gedung—rencana nya hanya tiga lantaiitu, sejumlah alat berat sedang
dioperasikan para teknisi untuk membuat sarana olahraga. Buldoser merapikan
tanah yang kelak menjadi lapangan sepak bola, sementara mesin penggilas
meratakan lintas an atletik yang mengelilingi lapangan.
Bangunan itu bakal menjadi mess pelatih,
staf, serta karyawan Pusat Pendidikan dan Pela tihan Bela Negara Kementerian
Pertahanan RI. Di area pusdiklat yang berlokasi di Pabuaran, Desa Cibodas,
Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tersebut, rencananya juga akan
didirikan asrama untuk peserta program bela negara. Selain asrama putra p
utri, di lahan seluas 7 hektare yang dikelilingi perkebunan karet PT Pintu
gerbang menuju Pusdiklat Bela Negara di Rumpin, Bogor. Melintasi perkebunan
karet.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu
(tengah) didampingi Direktur Bela Negara Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Laksamana Pertama TNI M.
Faizal (kanan) menjelaskan soal program bela negara di gedung Kemenhan,
Jakarta, Senin (12/10). dicanangkan
pemerintah mulai tahun ini. Pada 2015, Kemenhan akan membentuk 4.500 kader
pembina bela negara di 45 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Program itu
rencananya akan diresmikan pekan ini. Setelah membentuk kader pembina, pada
tahun depan Kemenhan akan menggelar pro gram kader bela negara.
Targetnya, menurut Menteri Pertahanan
Ryamizard Ryacudu, mulai 2016, dalam 10 tahun, 100 juta orang bisa mengikuti
program yang akan diwajibkan bagi warga negara berusia 50 tahun ke bawah
tersebut. Ryamizard berpatokan pada aturan bela negara dalam Undang U ndang
Dasar 1945 dan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
JADI
(BELA NEGARA) BUKAN SEMATA UNTUK (SIAP) BERPERANG.
“Ini (program) menumbuh kembangkan cinta Tanah
Air, rela berkorban, berupa latihan fisik dan psikis. Batasan umur 50 ke bawah,
ini never ending process, sejak (usia) PAUD hingga perguruan tinggi,”
ujar mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu di kantor Kemenhan, Jakarta
Pusat, Senin, 12 Oktober lalu. Namun, alih alih mendapat dukungan, belum juga
dicanangkan, program itu sudah mendapat tentangan kiri kanan. Anggota Komisi I
Dewan Perwakilan Rakyat, Tubagus Hasanuddin, menyebut rencana membentuk 100
juta kader bela negara dalam 10 tahun sulit dipahami. Jika itu targetnya, dalam
satu tahun akan ada pelatihan bagi 10 juta orang atau sekitar 830 ribu warga
per bulan. Jumlah itu sangat tidak sebanding dengan sarana pelatihan Kemenhan,
yang hanya mampu menampung sekitar 600 orang. Belum lagi biaya melatih 100 juta
kader itu. “Seandainya dalam 5 tahun dilatih 50 juta orang, kalau biaya per
orang Rp 10 juta, butuh anggaran Rp 500 triliun. Itu uang dari mana?” tutur
politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini. Menurut dia, kewajiban
warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara memang diatur dalam
UUD 1945, yakni Pasal 30 Ayat 1. Namun, dalam ayat 5 pasal yang sama disebutkan
bahwa keikutsertaan warga negara dalam usaha tersebut akan diatur dalam un
dang undang.
Hal yang sama terdapat dalam Undang Undang
Pertahanan Negara Pasal 9 ayat 3, yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai
pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan
pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang un dang. Nah,
masalahnya, Indonesia belum memiliki UU Bela Negara serta peraturan pendukung
nya, misalnya peraturan presiden atau kepu tusan presiden. “Pemerintah belum
pernah membicarakan soal ini dengan DPR,” ucap Hasanuddin saat dihubungi Selasa
pekan lalu. Ia menilai kegiatan Pramuka atau pelatihan kewiraan juga sudah
menumbuhkan rasa cinta Tanah Air serta kesigapan membantu saat negara mengalami
bencana. “Itu juga bagian dari bela negara. Jadi (bela negara) bukan semata
untuk (siap) berperang,” katanya. Senada dengan Hasanuddin, Koalisi Masya
rakat Sipil menilai program bela negara lebih te pat jika dijalankan
Kementerian Pendidikan jika Tubagus Hasanuddin dan Al Araf konteksnya
menumbuhkan rasa nasionalisme. Seperti melalui pendidikan kewarganegaraan dan
memaksimalkan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, seperti Pramuka, Palang
Merah Remaja, atau Pasukan Pengibar Bendera.
Juru bicara koalisi, yang juga Direktur
Impar sial, Al Araf, menilai program bela negara akan membebani anggaran
pertahanan negara jika dilaksanakan Kemenhan. Sebab, di sisi lain, anggaran
untuk penguatan alat utama sistem persenjataan masih terbatas. Indonesia baru
bisa mewujudkan kekuatan militer minimal (minimum essential force) pada
2024. “Sementara itu, kesejahteraan prajurit masih sangat kurang,” ujar Araf di
Jakarta, Rabu, 14 Oktober lalu. Araf juga meminta, bela negara tidak ditafsir
kan sebagai bentuk militerisasi sipil, melainkan bentuk peran serta masyarakat
dalam membangun serta menghadapi berbagai macam persoalan bangsa. “Aktivis
lingkungan dan aktivis antikorupsi juga bagian dari membela negara,” tuturnya.
Direktur Bela Negara Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kemenhan Laksamana
Pertama TNI Muhammad Faizal menampik Anggota Pramuka berbaris saat pembukaan
sebuah jambore daerah. Pramuka juga dianggap salah satu kegiatan bela
negara. anggapan bahwa bela negara
merupakan upaya militerisasi sipil.
Bela negara, ujarnya, merupakan
kegiatan untuk menumbuhkan kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Orang salahnya, bela negara dianggap kegiatan seperti militer,” ucapnya.
Kecintaan terhadap NKRI akan membuat warga negara tanggap terhadap berbagai
ancaman, seperti bahaya narkoba. “Ini bagian dari revolusi men tal,” kata
Faizal. Ia menyebut program bela negara baru akan dilaksanakan dalam skala
nasional tahun ini, meski secara terbatas sudah dilakukan 15 2 0 tahun lalu.
Tidak hanya di Pusdiklat Kemenhan, pelatihan juga bakal digelar di satuan satuan
pendidikan TNI, Resimen Induk Komando Daerah Militer atau batalion, bekerja
sama dengan pemerintah daerah.
Meski hal itu masih banyak
dipertanyakan, Kemenhan tak surut melangkah. Apalagi de sain induk (grand
design) program pembinaan kesadaran bela negara (PKBN) dirancang sejak awal
tahun ini. “Harapannya, akan ditetapkan dalam keputusan presiden. Jadi akan
menjadi acuan kementerian dan lembaga dalam me laksanakan PKBN,” ujar perwira
TNI Angkatan Laut itu.