Friday, January 1, 2016

GIANT SEA WALL

GIANT SEA WALL
     
        SALAH satu situs jual-beli rumah menawarkan hunian di kompleks real estate mewah. Lahan rumah itu tidak terlalu spektakuler, hanya 424 meter persegi. Banyak rumah di perkampungan yang lahannya seluas ini. Tapi lihat fasilitas rumah itu: furnitur di dalamnya dari kayu mahoni dan jati. Ada helipad, mungkin agar penghuninya tak perlu didera kecemasan bakal kena macet. Dan—kelebihan rumah-rumah di kompleks itu—ada dermaga kapal pesiarnya. Harga rumah dengan helipad dan dermaga kapal itu Rp 33 miliar. Kompleksnya bernama Pantai Mutiara, terletak di dekat pembangkit listrik Muara Karang. Perumahan ini dibangun di atas tanah urukan atau reklamasi. Reklamasi Pantai Mutiara ini bukan yang terakhir di Teluk Jakarta, malah bakal ditambah 17 pulau buatan lain dan salah satunya bakal digarap perusahaan yang menguruk lahan untuk Pantai Mutiara, yaitu PT Intiland Development. “Proyek (reklamasi) ini adalah extend dari proyek kami sebelumnya, yaitu Pantai Mutiara,” ujar Direktur Pengelolaan Investasi dan Modal

     Intiland, Archied Noto Pradono. Pulau buatan di atas lahan urukan sebanyak 17 itu bagian dari proyek Giant Sea Wall, pembangun tanggul raksasa di Teluk Jakarta. Di tanggul itu bakal dibangun kompleks properti baru dengan desain menyerupai garuda yang sedang mengepakkan sayap. Sebanyak 17 pulau buatan akan berdiri di Teluk Jakarta dan salah satunya bakal dibangun oleh Intiland. Intiland tertarik ikut menggarap pulau buatan itu karena, selain berpengalaman, menjanjikan untuk pengembangan bisnis properti di kawasan utara Jakarta. Apalagi, selain Pantai Mutiara, mereka memiliki Apartemen Regatta. Karena itu, ketimbang mencari lahan baru untuk membangun dan mengembangkan properti, Intiland memilih membangun di lokasi yang sudah memiliki basis pasar. “Kalau reklamasi, kita punya lahan sudah jelas dan lebih cepat daripada bebasin tanah, dan lokasinya strategis di Jakarta,” kata Archied. Untuk menjalankan proyek ini, Intiland menyiapkan dana Rp 7,5 triliun untuk salah satu pulau buatan seluas 63 hektare. Menurut Archied, investasi diperkirakan baru balik modal setelah 10 tahun. Namun Archied belum bisa memastikan berapa besar porsi untuk reklamasi maupun pembangunan fisik dari total dana tersebut karena masih dalam pembahasan internal perusahaan. 
     
     Harga lahan reklamasi yang lebih murah dibanding membebaskan tanah di wilayah Jakarta juga diungkapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka memperkirakan biaya reklamasi sebesar Rp 5-6 juta per meter persegi. Harga ini lebih murah dibandingkan dengan membeli tanah di Jakarta, yang harganya Rp 7-11 juta per meter persegi. Biaya membeli tanah di Jakarta masih bisa bertambah jika harus melakukan pembebasan karena sudah ditempati. “Membangun di lahan reklamasi, faktor sosialnya kecil karena tidak perlu ribut-ribut masalah pembebasan lahan,” kata Asisten Pembangunan Pemprov DKI Jakarta Wiriyatmoko. Selain itu, membangun properti di lahan reklamasi termasuk strategis karena berada di Jakarta, dekat dengan bandara dan pelabuhan serta lokasi bisnis di kawasan Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Pengembang tidak akan memperoleh situasi strategis seperti ini jika membangun di luar Jakarta. 

   Pemerintah juga memberikan konsesi berupa hak guna bangunan (HGB) kepada pengembang untuk membangun kawasan permukiman dan komersial di atas lahan hasil reklamasi. Status hak guna bangunan ini berlaku selama 30 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Sedangkan pemerintah mendapat hak pengelolaan lahan (HPL) alias mengawasi penggunaan tanah agar sesuai dengan peruntukannya. “Swasta dapat konsesi HGB, sedangkan HPL atas nama Pemprov DKI,” tutur Wiriyatmoko. Pemerintah Jakarta bersemangat dengan proyek reklamasi karena juga bakal diuntungkan. Pemerintah provinsi mendapat jatah dari proyek reklamasi ini. Menurut Budi Karya Sumadi, Direktur PT Jakarta Propertindo—perusahaan Pemerintah Provinsi Jakarta yang bertugas mengkoordinasi proyek reklamasi—pemerintah provinsi juga mendapat jatah 30 persen dari total lahan hasil reklamasi dan 5 persen retribusi. 

     Apalagi kewajiban membangun fasilitas umum dan sosial diserahkan kepada tutur Archied. Intiland adalah salah satu dari 8 perusahaan pengembang properti yang akan ikut dalam proyek reklamasi. Lokasi yang didapat Intiland tidak jauh dari Pantai Mutiara. Mereka menjadwalkan proses menguruk dimulai pada kuartal pertama 2015 dan berlangsung selama 3 tahun. Setelah itu, selama 2 tahun berikutnya bakal dimulai proses konstruksi hunian dan kawasan komersial dan pengembang, sehingga pemerintah daerah tidak perlu keluar uang. “Tapi pembangunan fisik setelah reklamasi tidak ada tenggat, tergantung kemampuan masing-masing pengembang,” ujar Budi. Bagi pengembang, mereka tidak keberatan menjalankan kewajiban ini karena mereka menganggapnya sebagai CSR (corporate social responsibility). “Ada kewajiban dari Pemprov DKI yang mesti dijalankan, hal itu merupakan CSR dan sedang kami siapkan dalam anggaran,”


No comments:

Post a Comment