MENGAMBIL UNTUNG DARI TANGGUL GIANT SEA WALL
Adalah membuat
tanggul raksasa di Teluk Jakarta. Tujuannya agar air laut tidak seenaknya
menerjang Ibu Kota dan air dari daratan bisa dengan gampang mengalir. Tapi,
jika hanya membuat tanggul, pemerintah tidak mendapatkan hasil apa pun. Itu
sebabnya, kemudian muncul ide agar tanggul itu juga dijadikan kawasan baru dan
diuruk. Biaya juga bisa ditanggung investor reklamasi itu.Tanggul laut itu 34 kilometer, terpanjang di dunia. Danau buatan dan lahan
reklamasi seluas sekitar 40 ribu hektare tercipta dari dam raksasa itu. Mulai
dibangun awal 1990-an, tanggul itu dibuka untuk umum pada 2010.
Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pekan lalu mengunjungi tanggul raksasa di
Korea Selatan bernama Saemangeum itu. Ia ingin
menjadikan tanggul di Korea itu sebagai pembanding dengan rencana Giant Sea
Wall di Teluk Jakarta. Satu hal langsung dilihat oleh wakil gubernur yang akrab
dipanggil Ahok itu. Perbedaan utama tanggul itu dengan Giant Sea Wall adalah
konsepnya. Tanggul di Saemangeum hanya untuk penahan ombak, sedangkan Giant Sea
Wall di Jakarta juga dimanfaatkan untuk reservoir atau penampungan air tawar.
“Beda sekali konsepnya,” kata Ahok.
Ide membangun tanggul raksasa datang dari
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak era Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
Rencana awalnya, tanggul ini dibangun hanya untuk menahan ombak besar dan
banjir yang datang dari arah utara Jakarta. Namun, setelah dibahas bersama
pemerintah pusat, proyek ini akhirnya berkembang bukan hanya membangun tanggul.
“Sekarang lebih dikembangkan,” ujar Bastary Pandji Indra, Direktur
Pengembangan Kerja Sama Pemerintah dan Swasta Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional. Pemerintah menyebut proyek ini sebagai National Capital
Integrated Coastal Development (NCICD).
Tanggul itu akan disertai reklamasi
besar- besaran, menciptakan kota mandiri di sepanjang tanggul. Desain kota
mandiri ini berbentuk garuda, burung legenda yang menjadi simbol Indonesia.
Proyek NCICD fase pertama adalah pembangunan Giant Sea Wall. Tanggul ini Tukang
perahu mencari Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Kawasan memiliki fungsi
ganda. Pertama, air laut tak bisa masuk karena tanggulnya mencapai 6 meter dari
permukaan air. Selain itu, tanggul membuat air tawar dari sungai-sungai yang
bermuara di Teluk Jakarta tidak langsung ke laut. Air tawar ini bakal menjadi
sumber bahan air baku untuk penduduk Ibu Kota. Kapasitas kolam air tawar ini
mencapai 1 miliar meter kubik dengan luas 10 ribu hektare. Air ini diharap
cukup untuk memasok kebutuhan warga DKI Jakarta
hingga 2080. Pembangunan tanggul ini juga diikuti dengan reklamasi lahan untuk
membangun fasilitas MRT sepanjang 11 kilometer dan jalan tol yang menghubungkan Tangerang dan Bekasi
sepanjang 43 kilometer.
Pembangunan tanggul ini juga disatukan dengan reklamasi
17 pulau di kawasan utara Jakarta seluas 3.000 hektare. Menurut Budi Karya
Sumadi, Direktur PT Jakarta Propertindo, badan usaha milik pemerintah Jakarta
yang menjadi koordinator reklamasi 17 pulau itu, “Reklamasi itu adalah usulan
dari swasta yang dikoordinasi dan sudah ada delapan perusahaan pengembang
properti yang menyatakan ikut.” Selain reklamasi 17 pulau dan Giant Sea Wall,
nantinya juga dilakukan reklamasi seluas 1.000 hektare di sebelah timur dan
seluas 900 hektare di sebelah barat Giant Sea Wall. Di sebelah timur Giant Sea
Wall, yang mencakup kawasan Cilincing, Marunda, ke arah Tanjung Priok, akan
dibangun pusat logistik dan fasilitas pelabuhan laut dalam. Di sebelah barat
Giant Sea Wall akan dibangun kawasan komersial, seperti pusat jasa keuangan,
jasa perdagangan, dan pariwisata. Proyek reklamasi yang hampir mencapai 5.000
hektare itu diperkirakan menelan biaya lebih dari Rp 250 triliun dan
dilaksanakan pihak swasta. Proses reklamasi itu diperkirakan memakan waktu
10-20 tahun. Sedangkan pembangunan Giant Sea Wall dan fasilitas
pendukungnya menjadi domain pemerintah. Dengan kata lain, sumber biayanya
berasal dari kantong pemerintah.
Sumber pembiayaan pembangunan Giant Sea Wall
menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah. Sebab, menurut Asisten Pembangunan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Wiriyatmoko, anggaran pemerintah daerah,
misalnya APBD DKI Jakarta, tidak akan mampu membiayai pembangunan Giant Sea
Wall. Selain itu, jika dikombinasikan dengan dana APBN, dikhawatirkan akan
memicu masalah karena pembangunan itu hanya untuk kepentingan Kota Jakarta,
bukan Indonesia. “Jadi sebaiknya, setelah reklamasi selesai, baru kita ng o
m o ngin soal Giant Sea Wall,”
ujarnya. Menurut Wiriyatmoko, pihak swasta yang ikut dalam reklamasi bisa saja
diminta terlibat dalam pembangunan Giant Sea Wall, misalnya dengan membentuk
konsorsium. Namun keterlibatan swasta ini baru dilakukan setelah mereka sudah
balik modal.
No comments:
Post a Comment