Friday, January 1, 2016

ALIEN

    Pada pertengahan Agustus 1977, nyaris semua orang di Amerika tengah membicarakan kematian Raja Rock and Roll, Elvis Aaron Presley. Namun Jerry Ehman seolah-olah tak peduli. Alih-alih memelototi berita kematian Elvis di televisi, Jerry, kala itu 37 tahun, malah asyik mencermati cetakan hasil “penyadapan” Observatorium Radio Universitas Negeri Ohio di Columbus, Ohio. Teleskop radio tipe Kraus di kampus Universitas Negeri Ohio mulai dibangun pada 1956 dan beroperasi sejak 1961 untuk “menguping” sinyal-sinyal radio dari luar tata surya. Pada 15 Agustus pukul 10.16 malam, sehari sebelum kematian Elvis, Big Ear alias Si Kuping Besar—julukan bagi Observatorium di Columbus itu—menangkap sinyal tak biasa. Pada satu kolom vertikal tertulis “6EQUJ5”. 
    
     Biasanya, data-data dari Big Ear hanya memuat angka-angka dari 1 dan 2. Semakin besar angka, berarti semakin besar intensitas sinyal radio itu. Huruf “U” kurang-lebih nilainya setara angka 31. “Aku tak pernah menemui sinyal radio sekuat itu sebelumnya,” kata Jerry. Setelah dihitung, sumber sinyal selama 20 detik itu diperkirakan berasal dari konstelasi bintang Sagitarius, sekitar 2,5 derajat ke arah selatan dari kelompok bintang Chi Sagittarii. Jerry girang tak kepalang saat membaca sinyal radio itu—dengan pena merah dia menulis “Wow” di samping kertas cetakan sinyal. John Krauss dan Bob Dixon, dua bosnya di Big Ear, juga sama senangnya. Mereka menduga ada “sesuatu” di luar angkasa sana yang mengirimkan pesan ke bumi. 

    Selama bertahun-tahun, Ehman dan kawan-kawannya di Big Ear meneliti adakah kemungkinan sumber sinyal lain yang tertangkap teleskop radio Kuping Besar: satelit atau pesawat. Ehman meyakini transmisi pada frekuensi 1420,4556 MHz itu tak berasal dari pesawat atau satelit yang mengorbit bumi. Lalu dari mana sumber sinyal Wow tersebut? Hingga hari ini, sinyal Wow tetap jadi misteri. Walaupun sudah berulang kali mencoba mencari kembali dengan teleskop yang lebih canggih, sinyal serupa tak pernah lagi tertangkap teleskop radio di muka bumi sampai detik ini. “Data-data itu masih kelewat sedikit untuk mengambil kesimpulan. Aku harus mengatakan, asal-muasal sinyal itu masih menjadi satu pertanyaan terbuka,” kata Ehman, empat tahun lalu. 

     Dengan meminjam persamaan astronom Frank Drake, menurut Brian Cox, fisikawan kondang dari Inggris, ditaksir ada dua hingga 50 ribu zona di alam semesta yang bisa jadi ditinggali makhluk cerdas seperti manusia. Mengutip Paradoks Fermi, Profesor Brian bertanya: jika ada ribuan peradaban di alam semesta, mengapa tak sekali pun kita bisa mendeteksi tanda-tanda kehidupan dari luar bumi? “Sebab, hanya satu peradaban dengan teknologi maju di alam semesta dan hanya akan ada satu... yakni kita, manusia. Kita unik,” kata Profesor Cox, pekan lalu.

    Benarkah tak ada peradaban lain, kehidupan makhluk cerdas lain, selain peradaban manusia di bumi? Brian Cox barangkali tak percaya ada kehidupan seperti manusia di luar bumi. Tapi dia juga tidak punya bukti bahwa peradaban makhluk cerdas—entah dia menyerupai manusia atau tidak—tak ada di planet lain. Seth Shostak dan ratusan ilmuwan di Search for Extraterrestrial Intelligence (SETI) Institute, juga mungkin ribuan ilmuwan lain, punya pendapat berseberangan dengan Brian Cox, fisikawan di Universitas Manchester. Namun Shostak, Direktur Pusat Riset SETI, mengingatkan bahwa bisa jadi kehidupan diluar sana sama sekali tak mirip manusia. “Kita tak berasumsi mereka menyerupai kita.... Kita berasumsi ilmu fisika mereka mirip dengan kita.... Bahwa mereka mengirimkan informasi dengan sinyal radio atau laser dari mana pun mereka berada,” Shostak menulis bulan lalu. Berdasarkan asumsi itulah selama puluhan tahun para astronom memasang “telinga” ke atas langit sana, mencoba menangkap sinyal dari luar bumi, dari luar tata surya. 

    Perburuan para astronom mencari tanda- tanda kehidupan di luar bumi masih sangat panjang. Menurut Shostak, pencarian makhluk lain itu masih tahap “bayi”, tak mungkin menyimpulkan apakah ada atau tiada makhluk cerdas lain di luar bumi. “Ibarat perjalanan Columbus mencari benua baru, dia baru berlayar beberapa puluh kilometer dari Spanyol dan berkata, ‘Tak ada apa pun di luar sana,’” kata Shostak. Setelah teleskop Big Ear menangkap sinyal Wow, berulang kali Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mendanai proyek pencarian kehidupan cerdas di luar sana alias proyek SETI. Pada 1992, NASA meluncurkan proyek Microwave Observing Program (MOP) dengan memanfaatkan jaringan NASA Deep Space dan teleskop di Observatorium Arecibo di Puerto Riko. Namun, belum setahun berjalan, proyek itu dibatalkan setelah dikritik oleh Kongres Amerika. Jill Tarter dan SETI Institute melanjutkan proyek MOP setelah Kongres menjegal anggaran proyek tersebut. 

    Tarter dan timnya mengamati sekitar 1.000 bintang terdekat dengan tata surya. Namun, tanpa sokongan pemerintah, proyek SETI itu n g o s-n g o s a n  mempertahankan napas. Kendati sudah pensiun dua tahun lalu, setelah hampir empat puluh tahun memburu kehidupan lain di luar bumi, Jill Tarter tak bisa leyeh-leyeh berjemur di sebuah pantai tropis menikmati hari tua. Dia malah sibuk mencari dana bagi mantan kantornya itu. Kondisi keuangan SETI Research memang sedang benar-benar “tipis”. Mereka terpaksa menghentikan operasi beberapa teleskop radionya karena kurang biaya. “Itu adalah alarm bahaya. Aku tak bisa membiarkannya. Kondisi kami benar-benar kritis,” ujar Tarter, mantan Direktur SETI Research, beberapa waktu lalu. Tarter inilah sumber inspirasi bagi Carl Sagan saat menulis novel Co nt a c t , yang menceritakan soal obsesi Eleanor “Ellie” Ann Arroway berkomunikasi dengan makhluk lain di luar angkasa. Di versi filmnya, Ellie Arroway diperankan oleh Jodie Foster. 

      Selera NASA terhadap proyek pencarian tanda kehidupan lain di luar bumi memang pasang-surut. Tiga pekan lalu, NASA menyetujui dana riset bagi sejumlah lembaga riset, salah satunya SETI Institute, untuk meneliti asal-muasal kehidupan dan mencari kemungkinan kehidupan lain di luar planet ini. “Tidak mungkin di dalam alam semesta seluas ini manusia hidup sendiri,” kata Charles Bolden, Kepala NASA. Michael Garrett, astronom dari Belanda, mengatakan mungkin saja ada peradaban lain di atas sana, tapi jaraknya kelewat jauh dari bumi sehingga sampai detik ini tak terdeteksi rupa-rupa alat observasi.
Bayangkan saja, diameter Galaksi Bima Sakti lebih dari 100 ribu tahun cahaya—1 tahun cahaya kurang-lebih setara dengan 10 triliun kilometer. 

     Sementara itu, kecepatan cahaya di ruang hampa saja hanya sekitar 300 ribu kilometer per detik. Butuh waktu 4 tahun bagi sinyal radio dari bumi untuk menjangkau bintang terdekat setelah matahari, yakni Alpha Centauri. Dan butuh 100 ribu tahun untuk mencapai tepi Galaksi Bima Sakti. Jadi, seandainya ada peradaban modern berjarak 1.000 tahun cahaya dari bumi, menurut Garrett, dengan teknologi saat ini, hampir tak mungkin terjalin komunikasi dengan bumi. Sebab, paling tidak butuh 1.000 tahun hingga sinyal dari bumi tiba di planet itu. “Proyek SETI memang tak gampang, tapi pencarian itu layak dikerjakan. Sebab, pertanyaan itu sangat penting.... Semua orang ingin tahu, bahkan orang-orang di pinggir jalan juga ingin tahu, ada apa di luar sana,” kata Garrett, beberapa pekan lalu


No comments:

Post a Comment