Pada pertengahan Agustus 1977, nyaris semua
orang di Amerika tengah membicarakan kematian Raja Rock and Roll, Elvis Aaron
Presley. Namun Jerry Ehman seolah-olah tak peduli. Alih-alih memelototi berita
kematian Elvis di televisi, Jerry, kala itu 37 tahun, malah asyik mencermati
cetakan hasil “penyadapan” Observatorium Radio Universitas Negeri Ohio di
Columbus, Ohio. Teleskop radio tipe Kraus di kampus Universitas Negeri Ohio
mulai dibangun pada 1956 dan beroperasi sejak 1961 untuk “menguping”
sinyal-sinyal radio dari luar tata surya. Pada 15 Agustus pukul 10.16 malam,
sehari sebelum kematian Elvis, Big Ear alias Si Kuping Besar—julukan bagi
Observatorium di Columbus itu—menangkap sinyal tak biasa. Pada satu kolom
vertikal tertulis “6EQUJ5”.
Biasanya, data-data dari Big Ear hanya memuat
angka-angka dari 1 dan 2. Semakin besar angka, berarti semakin besar intensitas
sinyal radio itu. Huruf “U” kurang-lebih nilainya setara angka 31. “Aku tak
pernah menemui sinyal radio sekuat itu sebelumnya,” kata Jerry. Setelah dihitung, sumber sinyal selama
20 detik itu diperkirakan berasal dari konstelasi bintang Sagitarius, sekitar
2,5 derajat ke arah selatan dari kelompok bintang Chi Sagittarii. Jerry girang
tak kepalang saat membaca sinyal radio itu—dengan pena merah dia menulis “Wow”
di samping kertas cetakan sinyal. John Krauss dan Bob Dixon, dua bosnya di Big
Ear, juga sama senangnya. Mereka menduga ada “sesuatu” di luar angkasa sana
yang mengirimkan pesan ke bumi.
Selama bertahun-tahun, Ehman dan kawan-kawannya
di Big Ear meneliti adakah kemungkinan sumber sinyal lain yang tertangkap
teleskop radio Kuping Besar: satelit atau pesawat. Ehman meyakini transmisi
pada frekuensi 1420,4556 MHz itu tak berasal dari pesawat atau satelit yang
mengorbit bumi. Lalu dari mana sumber sinyal Wow tersebut? Hingga hari ini,
sinyal Wow tetap jadi misteri. Walaupun sudah berulang kali mencoba mencari
kembali dengan teleskop yang lebih canggih, sinyal serupa tak pernah lagi tertangkap teleskop radio di muka bumi sampai detik ini.
“Data-data itu masih kelewat sedikit untuk mengambil kesimpulan. Aku harus
mengatakan, asal-muasal sinyal itu masih menjadi satu pertanyaan terbuka,” kata
Ehman, empat tahun lalu.
Dengan meminjam persamaan astronom Frank Drake,
menurut Brian Cox, fisikawan kondang dari Inggris, ditaksir ada dua hingga 50
ribu zona di alam semesta yang bisa jadi ditinggali makhluk cerdas seperti
manusia. Mengutip Paradoks Fermi, Profesor Brian bertanya: jika ada ribuan
peradaban di alam semesta, mengapa tak sekali pun kita bisa mendeteksi tanda-tanda
kehidupan dari luar bumi? “Sebab, hanya satu peradaban dengan teknologi maju di
alam semesta dan hanya akan ada satu... yakni kita, manusia. Kita unik,” kata
Profesor Cox, pekan lalu.
Benarkah tak ada peradaban lain, kehidupan makhluk cerdas lain,
selain peradaban manusia di bumi? Brian Cox barangkali tak percaya ada
kehidupan seperti manusia di luar bumi. Tapi dia juga tidak punya bukti bahwa
peradaban makhluk cerdas—entah dia menyerupai manusia atau tidak—tak ada di
planet lain. Seth Shostak dan ratusan ilmuwan di Search for Extraterrestrial
Intelligence (SETI) Institute, juga mungkin ribuan ilmuwan lain, punya pendapat
berseberangan dengan Brian Cox, fisikawan di Universitas Manchester. Namun
Shostak, Direktur Pusat Riset SETI, mengingatkan bahwa bisa jadi kehidupan
diluar sana sama sekali tak mirip manusia. “Kita tak berasumsi mereka
menyerupai kita.... Kita berasumsi ilmu fisika mereka mirip dengan kita....
Bahwa mereka mengirimkan informasi dengan sinyal radio atau laser dari mana pun
mereka berada,” Shostak menulis bulan lalu. Berdasarkan asumsi itulah selama
puluhan tahun para astronom memasang “telinga” ke atas langit sana, mencoba
menangkap sinyal dari luar bumi, dari luar tata surya.
Perburuan para astronom
mencari tanda- tanda kehidupan di luar bumi masih sangat panjang. Menurut
Shostak, pencarian makhluk lain itu masih tahap “bayi”, tak mungkin menyimpulkan apakah ada atau tiada makhluk cerdas lain di luar bumi.
“Ibarat perjalanan Columbus mencari benua baru, dia baru berlayar beberapa puluh
kilometer dari Spanyol dan berkata, ‘Tak ada apa pun di luar sana,’” kata
Shostak. Setelah teleskop Big Ear menangkap sinyal Wow, berulang kali Badan
Antariksa Amerika Serikat (NASA) mendanai proyek pencarian kehidupan cerdas di
luar sana alias proyek SETI. Pada 1992, NASA meluncurkan proyek Microwave
Observing Program (MOP) dengan memanfaatkan jaringan NASA Deep Space dan
teleskop di Observatorium Arecibo di Puerto Riko. Namun, belum setahun
berjalan, proyek itu dibatalkan setelah dikritik oleh Kongres Amerika. Jill
Tarter dan SETI Institute melanjutkan proyek MOP setelah Kongres menjegal
anggaran proyek tersebut.
Tarter dan timnya mengamati sekitar 1.000 bintang
terdekat dengan tata surya. Namun, tanpa sokongan pemerintah, proyek SETI itu n
g o s-n g o s a n mempertahankan
napas. Kendati sudah pensiun dua tahun lalu, setelah hampir empat puluh tahun
memburu kehidupan lain di luar bumi, Jill Tarter tak bisa leyeh-leyeh berjemur
di sebuah pantai tropis menikmati hari tua. Dia malah sibuk mencari dana bagi mantan
kantornya itu. Kondisi keuangan SETI Research memang sedang benar-benar
“tipis”. Mereka terpaksa menghentikan operasi beberapa teleskop radionya karena
kurang biaya. “Itu adalah alarm bahaya. Aku tak bisa membiarkannya. Kondisi
kami benar-benar kritis,” ujar Tarter, mantan Direktur SETI Research, beberapa
waktu lalu. Tarter inilah sumber inspirasi bagi Carl Sagan saat menulis novel Co
nt a c t , yang menceritakan soal obsesi Eleanor “Ellie” Ann Arroway
berkomunikasi dengan makhluk lain di luar angkasa. Di versi filmnya, Ellie
Arroway diperankan oleh Jodie Foster.
Selera NASA terhadap proyek pencarian
tanda kehidupan lain di luar bumi memang pasang-surut. Tiga pekan lalu, NASA
menyetujui dana riset bagi sejumlah lembaga riset, salah satunya SETI
Institute, untuk meneliti asal-muasal kehidupan dan mencari kemungkinan
kehidupan lain di luar planet ini. “Tidak mungkin di dalam alam semesta seluas
ini manusia hidup sendiri,” kata Charles Bolden, Kepala NASA. Michael Garrett,
astronom dari Belanda, mengatakan mungkin saja ada peradaban lain di atas sana,
tapi jaraknya kelewat jauh dari bumi sehingga sampai detik ini tak terdeteksi
rupa-rupa alat observasi.
Bayangkan saja, diameter Galaksi Bima Sakti lebih dari 100 ribu
tahun cahaya—1 tahun cahaya kurang-lebih setara dengan 10 triliun kilometer.
Sementara itu, kecepatan cahaya di ruang hampa saja hanya sekitar 300 ribu
kilometer per detik. Butuh waktu 4 tahun bagi sinyal radio dari bumi untuk
menjangkau bintang terdekat setelah matahari, yakni Alpha Centauri. Dan butuh
100 ribu tahun untuk mencapai tepi Galaksi Bima Sakti. Jadi, seandainya ada
peradaban modern berjarak 1.000 tahun cahaya dari bumi, menurut Garrett, dengan
teknologi saat ini, hampir tak mungkin terjalin komunikasi dengan bumi. Sebab,
paling tidak butuh 1.000 tahun hingga sinyal dari bumi tiba di planet itu.
“Proyek SETI memang tak gampang, tapi pencarian itu layak dikerjakan. Sebab,
pertanyaan itu sangat penting.... Semua orang ingin tahu, bahkan orang-orang di
pinggir jalan juga ingin tahu, ada apa di luar sana,” kata Garrett, beberapa
pekan lalu
No comments:
Post a Comment